Jumat, 29 Maret 2013

NURANI

Allah SWT tidak menganugerahkan dua hati bagi manusia. Istilah dua hati identik dengan hati mendua, yakni wujud dari keragu-raguan dalam bertindak.
Hakikat hati dalam Alquran disebut dengan qalbu yang bermakna jantung. Qalbu atau jantung, karena berbentuk segumpal daging, disebut juga dengan mudghah.

Rasulullah bersabda: “Dalam tubuh ada mudghah, jika ia baik, maka seluruh tubuh menjadi baik pula. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuh.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Hati yang baik disebut qalbun salim selalu mendapat petunjuk dari Allah dan dibimbing untuk bertindak baik. Karena itu ia disebut hati nurani (hati yang bercahaya).

Sedangkan hati yang tidak baik disebut qalbu ghairu salim dimurkai oleh Allah dan disebut juga dengan hati zhulmani (hati yang gelap/zalim). Karena itu tidak mungkin hati kita separuhnya nurani dan separohnya lagi zhulmani.

Nurani berasal dari kata nur yang berarti cahaya atau perunjuk. Dalam Alquran tidak ditemukan kata jamaknya, seperti yakni anwar (beberapa cahaya), begitu kata al-huda  dan al-haqq juga tunggal. Karena itu, cahaya atau petunjuk itu hanya satu karena bersumber dari Yang Satu, yakni Allah.

Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk berislam, maka ia memperoleh nur/petunjuk dari Tuhannya.” (QS az-Zumar [39]: 22). Pada ayat lain: “Allah membimbing melalui nur-Nya terhadap siapa saja yang dikehendaki-Nya” (QS an-Nur [24]: 35).

Hati nurani selalu terbuka menerima dan menyampaikan yang benar, membimbing mulut untuk berkata benar, mata untuk melihat yang baik, telinga untuk mendengar yang bermanfaat. Bahkan ketika mendengar pembicaraan, diseleksi yang terbaiknya (QS az-Zumar [39]: 18).

Rasulullah bersabda: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berkatalah yang benar, kalau tidak bisa, sebaiknya diam.” (HR Muslim). Pepatah mengatakan: “Diam itu emas, bicara itu perak.”

Bagi yang memiliki hati nurani selalu rindu untuk dekat kepada Allah, jiwa terasa tenang dan damai (nafs al-muthmainnah), jauh dari kegelisahan. Kerinduan itupun disambut oleh Allah dengan firman-Nya: “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan penuh rasa ridha, bergabunglah bersama hamba-hamba-Ku (yang saleh) dan masuklah ke dalam surga-Ku (QS al-Fajr [89]: 27-30).

Kebalikan dari hati nurani adalah hati zhulmani yang berarti gelap/zalim. Kata zhalim  sering ditemukan dalam Alquran dalam bentuk jamak atau zhulumaat. “Allah pelindung orang-orang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan (azh-zhulumaat) kepada petunjuk (an-nur)… (QS Al-Baqarah [2]: 257). Kalau kebenaran itu satu, maka kezaliman itu cenderung banyak.

Gelap dari petunjuk berarti menutup diri dari kebenaran, cenderung kepada dishamonisasi, memutus silaturahim, egois, suka membuat teror dan provokasi. Jika suatu kebenaran merugikan dirinya, selau ia tutup-tutupi.

Mempermainkan kata-kata adalah wujud dari kezaliman hati. Gambaran bagi orang yang punya hati zhulmani lebih sesat dari binatang, (QS. Al-A`raf [7]: 179). Na`uzdubillah.

Kamis, 28 Maret 2013

Penyair muda


Penyair yang terlalu muda
menulis puisi tentang cinta
perempuan lena dibuatnya.

Ia meraba-raba antara kata
dan makna yang bersilangan
dalam luapan birahi semata.

Penyair yang terlalu muda
wajar ia akan lupa tentang
siapa di balik sunyi dirinya.

Nostalgia di Parkiran


Kampus Mahasaraswati


Angin mematahkan daun
cahaya. Pohon ketapang itu
menjatuh-hamburkan sepi
yang perlahan jadi ombak.
Merambat lalu mengusik
silsilah debar lama semayam
dalam gua jatung. Aku batu.
Aku yang bisu. Si pertapa
bernama rindu. Hulu beku.
Muara doa-doa membiru.
Sebagaimana aku akan berlalu
dan berakhir pada jalan waktu;
maha terang yang puisi.

Minggu, 17 Maret 2013

Perpustakaan untuk Rakyat


            Berbicara soal kuliah umum 11 maret kemaren ada banyak hal penting yang bisa diambil, disimpulkan dan bisa dilakukan. Kuliah umum yang membahas tentang "perpustakaan untuk rakyat" tema yang diangkat dari sebuah judul buku ini merupakan tema yang simpel tetapi menurut saya memiliki arti dan makna yg sangat dalam kenapa demikian, karena selain termasuk didalam undang-undang bahwa seluruh warga negara berhak memdapatkan pendidikan dan juga karena warga yg memiliki ekonomi yg menengah kebawah itu minim fasilitas untuk mendapatkan pendidikan. Kuliah umum yang dihadiri oleh seorang Pustakawan Senior pak Blasius Sudarsono dan juga penulis dari buku "Perpustakaan Untuk Rakyat" beliau adalah seorang  Pustakawan di LIPI (Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia) dan juga Dosen di sebuah Universitas di Indonesia. Selain beliau juga hadir anak beliau yg juga penulis dari buku yg sama yaitu Mbak Ratih Rahmati. selain kedua pembicara ini turut hadir juga Pegawai dari Perpustakan kota Jogjakarta Ibu Afia Rosdiana dan dimoderatori oleh dosen IPI Pak Anis Masruri. Nah, disini karena judulnya mereview hasil kuliah umum "perpustakaan untuk rakyat" maka saya akan memaparkan apa yg saya dapatkan dari perkuliahan umum ini, semoga bermanfaat.

            Buku “Perpustakaan Untuk Rakyat: Dialog Anak dan Bapak” bukanlah sebuah buku pelajaran tetapi sebuah buku permenungan. Tidak ada pengetahuan atau keterampilan yang diajarkan, tidak ada teori yang disajikan untuk dikutip ketika seorang mahasiswa sedang menulis skripsi atau tesis, apalagi disertasi. Gaya penulisan yang khas dari seorang Blasius Sudarsono, seorang ‘filsuf’ kepustakawanan yang sering juga disebut sebagai “begawan” dalam dunia perpustakaan. Layak juga jika buku ini disetarakan dengan buku filsafat keilmuan karena di dalamnya kita akan menemukan banyak hasil permenungan, bukan hasil penelitian atau bahkan hasil percobaan,
            Memaknai perpustakaan memang bukan aktivitas sederhana karena makna perpustakaan tidak boleh diberikan oleh pengelola perpustakaan tetapi muncul dari mereka yang pernah atau sering atau selalu ‘disentuh’ oleh aktivitas perpustakaan dan atau aktivitasnya ‘menyentuh’ perpustakaan. Dengan pengalaman dan kemampuan olah otaknya, maka seseorang akan memberikan makna: “perpustakaan bagi saya adalah...(sumber pemecah masalah, pembangkit semangat hidup, penghancur masa depan, tempat berkumpulnya orang-orang sok pintar)...” makna ini kemudian mendorong orang untuk berbuat positif atau negatif pada perpustakaan. Sementara itu definisi berupa deskripsi atau arti kata tidak akan mendorong aktivitas apapun terhadap perpustakaan. Tidak pernah ada orang melakukan demonstrasi di depan gedung DPR gara-gara Komisi 10 DPR mendefinisikan Pemustaka sebagai “pengguna perpustakaan, yaitu perseorangan, kelompok orang, masyarakat, atau lembaga yang memanfaatkan fasilitas layanan perpustakaan”.
             Perpustakaan bukanlah hasil karya perseorangan melainkan hasil sebuah kerja tim di bawah manajemen yang baik (the right man in the right place). Berdasarkan pemikiran inilah nampaknya yang mendorong sang bapak mengajak anaknya untuk bersama-sama mengungkap dan menunjukkan bukti bahwa sinergi itu perlu dan wajib sesuai amanat Undang-Undang (salah satu landasan berkarya kegemaran pak Blas) yang mengharuskan TBM dan perpustakaan untuk bersama “dalam gerakan nasional gemar membaca yang tujuan akhirnya adalah kecerdasan hidup bangsa”. Pak Blas malah menambahkan kecerdasan hidup bangsa untuk “mencapai Kesejahteraan Hidup Bangsa.” Tujuan yang katanya jarang sekali diteriakan oleh pustakawan. (Kemudian pustakawannya balik bertanya: ”Apakah peran perpustakaan sampai menyejahterakan hidup bangsa? Sejauh itu? Mungkinkah”)
Pokok bahasan utama dari tulisan tentang Sinergi Perpustakaan dan TBM sangat ditujukan pada para pustakawan dan penggiat TBM agar selalu bersedia bersinergi dengan dukungan komponen kolaborasi, keterlibatan, kepercayaan, dan kemitraan. Pak Blas dan anaknya berusaha keras menunjukkan bahwa peran perpustakaan dan pustakawan sangatlah luas sehingga dijamin memiliki kompetensi yang tinggi untuk memilih peran yang paling tepat yang ingin dan akan dilakukannya bagi rakyat. Cara untuk melakukan sinergi ditunjukkan dengan cukup sederhana namun jelas, yaitu dengan kerendahhatian dan keugaharian pustakawan (pak Blas memang sering menyebutkan bahwa pustakawan, as himself, adalah mahluk yang sombong dan tidak mau mensejajarkan diri dengan pihak lain). Selanjutnya adalah kemauan pustakawan untuk bersinergi dengan pihak lain, terutama penggiat TBM Sampai pada bagian penutup, semangat dari buku ini tetap pada lahirnya sinergi antara perpustakaan dan TBM serta kembalinya Perpustakaan Nasional pada amanat UU 43 Th 2007, dan terciptanya sistem layanan nasional perpustakaan agar tercapai pembangunan perpustakaan untuk rakyat.
            Nah sebagai salah satu pembicara didalam Kuliah Umum  ini Bu Afia Rosdianan menambahkan “Kenalkan sejak dini perpustakaan kepada anak-anak, agar mereka terbiasa untuk mengenal yang dikatakan semua orang bahwa perpustakaan adalah jendela dunia”. Belajar Ilmu Perpustakaan bukan hanya belajar bagaimana menyusun, mengolah buku semata, Melainkan Belajar Mendekatkan diri kepada Masyarakat luas merangkul mereka untuk keperpustakaan. Serta Pak Blasius juga menambahkan 4 pilar pustakawan yaitu:
1.      Pandangan Hidup
2.      Semangat Hidup
3.      Karya Pelayanan dan
4.      Dilakukan dengan Profesional
Dan seorang pustakawan menurut Pak Blasius adalah harus:

1. Berfikir Kritis (melihat kondisi lingkungan
2. Membaca adalah kemampuan kedua
3. Menulis adalah  salah satu wujud syukur kepada Allah, karena kita masih diberi       kesempatan untuk berfikir
4. Interpreuner
5. Etika pelayanan untuk Publik
Demikianlah hasil Review singkat saya tentang perkuliahan umum “perpustakaan untuk rakyat”, Mudah-mudahan bisa memberikan manfaat untuk pembaca semua khususnya calon pustakawan matakuliah #IDKS