SEKATEN
Sebuah Proses Akulturasi Budaya dan Pribumisasi Islam
Sebuah Proses Akulturasi Budaya dan Pribumisasi Islam
* Oleh
: Alif Lukmanul Hakim
Sekaten secara lughawi (etimologi atau tata bahasa Arab) berasal dari kata ”Syahadatain”; yang berarti Dua Kalimat Syahadat. Sekaten – yang saat ini sedang dirayakan oleh sebagian besar masyarakat Yogyakarta – merupakan sebuah rangkaian kegiatan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat bersama dengan Pemerintah Kota Yogyakarta dan masyarakat. Berbagai bentuk acara dan kegiatan dilangsungkan dalam perayaan Sekaten – yang beraneka ragam variasi dan macamnya seiring perubahan waktu – mulai dari yang sifatnya ritual keagamaan hingga apresiasi seni tradisi lokal sampai pameran dan pasar malam. Kultur lokal dan kultur modern seakan melebur dalam waktu bersamaan dalam momentum sekaten.
Sekaten secara lughawi (etimologi atau tata bahasa Arab) berasal dari kata ”Syahadatain”; yang berarti Dua Kalimat Syahadat. Sekaten – yang saat ini sedang dirayakan oleh sebagian besar masyarakat Yogyakarta – merupakan sebuah rangkaian kegiatan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat bersama dengan Pemerintah Kota Yogyakarta dan masyarakat. Berbagai bentuk acara dan kegiatan dilangsungkan dalam perayaan Sekaten – yang beraneka ragam variasi dan macamnya seiring perubahan waktu – mulai dari yang sifatnya ritual keagamaan hingga apresiasi seni tradisi lokal sampai pameran dan pasar malam. Kultur lokal dan kultur modern seakan melebur dalam waktu bersamaan dalam momentum sekaten.
Namun ada dimensi kesejarahan yang
sering dilupakan oleh masyarakat, bahwa Sekaten secara historis telah dikenal
sejak zaman kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pada masa itu, makna dan perayaan
Sekaten mengacu pada kata sekati; berasal dari kata suka-ati (satuan berat 680
kilogram), kemudian mengalami transformasi bentuk menjadi Sekaten yang merujuk
pada kata dalam bahasa Arab Islam ”Syahadatain” yang mulai dilestarikan pada
zaman Kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu Kerajaan Demak. Perubahan makna
dalam transformasi konotatifnya bila ditilik dan ditelusuri semenjak zaman
Majapahit hingga Demak berkutat pada pemaknaan dan asal kata Sekaten – hal ini
mengakibatkan perubahan bentuk substansial – pun juga menghasilkan perubahan
signifikan seiring proses konversi (pemelukan) agama Islam – dari yang
sebelumnya beragama (pemaknaan) Hindu menjadi beragama (pemaknaan) Islam.
Memandang Sekaten, oleh karena itu,
jangan hanya dalam bingkai perspektif agama an sich atau dalam kacamata budaya
lokal – budaya Jawa – belaka. Cara pandang yang demikian akan mengakibatkan
distorsi yang cenderung memunculkan perdebatan yang kunjung berhenti. Perdebatan
tersebut akan bermuara pada masalah tafsir terhadap agama – dimensi normatif
dan historis serta Islam sebagai das sein dan das sollen – serta berujung pada
perpecahan dan perselisihan pendapat bila perbedaan tersebut tidak dibingkai
dalam upaya untuk memperoleh dan memperkuat jalinan ”ukhuwah” Islamiyah,
Wathoniyah, dan Basyariah.
Perayaan Sekaten dalam masyarakat
Jawa – khususnya masyarakat Kota Yogyakarta dan sekitarnya – yang telah begitu
mengakar kuat dan mentradisi tidak hanya di kalangan grass root (akar rumput)
tapi juga masyarakat keseluruhan pada umumnya tidak dapat dipungkiri merupakan
hasil dari ”sinergisasi” dan ”akulturasi” (perpaduan) kebudayaan, antara Islam
(sebagai agama sekaligus ”budaya”) dengan budaya lokal setempat. Uraian berikut
ini dimaksudkan untuk mencegah adanya perselisihan dan wacana yang sifatnya
distortif dalam memandang perayaan Sekaten.
Hubungan dan kolaborasi antara,
Islam sebagai ”teks besar” atau ”grand narrative” dengan budaya lokal tidak
lagi dapat dipandang dalam frame penundukkan an sich – Islam menundukan (atau)
ditundukkan oleh budaya lokal – tetapi harus dipandang bahwa proses akulturasi
tersebut malah semakin menunjukkan kekayaan atau keberagaman ekspresi budaya
Islam setelah bersinggungan atau bertemu dengan bangunan budaya lokal. Islam
tidak melulu dipandang dalam dimensi keuniversalitasannya – walaupun pada titik
ini orang yang beragama Islam harus tetap berkeyakinan bahwa ajaran Islam
adalah ajaran yang paripurna dan universal – tetapi juga bahasa dan sikap akomodatif
”Islam” dalam menerima dan mengapresiasi budaya lokal. Di sisi lain, budaya
lokal tidak pula melulu kita pandang sebagai bagian yang harus selalu mengalah
kepada Islam, namun ia – budaya lokal – pasti mempunyai kacamata sendiri dalam
membahasakan Islam menurut perspektifnya sendiri. Cara pandang yang seperti ini
akan menghasilkan konstruksi pemahaman baru yang peranannya sangat signifikan
dalam proses pembauran dan perpaduan antara dua unsur budaya yang berbeda
sehingga menghasilkan akulturasi budaya yang massif dan mengakar di masyarakat
tanpa menghilangkan substansi dari dua unsur budaya yang bertemu.
Perspektif lain yang ingin
dihadirkan melalui perayaan Sekaten adalah Islam telah mengalami pembacaan
ulang – dalam hal ini bukan bersifat merubah nilai atau ajaran substansial
Islam – melalui kacamata pribumi atau lokalitas yang sudah pasti berbeda dengan
Islam di tempat asalnya, Jazirah arab atau Timur Tengah. Dalam hal ini telah
terjadi proses ”Pribumisasi Islam” – meminjam terminologi Gus Dur – atau telah
terjadi upaya membumikan Islam – menurut Syafi’i Ma’arif – terhadap nilai-nilai
substansial dalam Islam. Sebuah proses bargaining budaya telah terjadi yang
mengikutsertakan dua unsur budaya yang bertemu. Proses tawar-menawar ini
melibatkan perilaku adaptasi dan akomodasi dengan semangat menciptakan tatanan
budaya baru yang dapat diterima bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar