Sabtu, 14 April 2012

SEKATEN= sebuah proses akulturasi budaya dan pribumisasi islam

SEKATEN
Sebuah Proses Akulturasi Budaya dan Pribumisasi Islam
* Oleh : Alif Lukmanul Hakim
Sekaten secara lughawi (etimologi atau tata bahasa Arab) berasal dari kata ”Syahadatain”; yang berarti Dua Kalimat Syahadat. Sekaten – yang saat ini sedang dirayakan oleh sebagian besar masyarakat Yogyakarta – merupakan sebuah rangkaian kegiatan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat bersama dengan Pemerintah Kota Yogyakarta dan masyarakat. Berbagai bentuk acara dan kegiatan dilangsungkan dalam perayaan Sekaten – yang beraneka ragam variasi dan macamnya seiring perubahan waktu – mulai dari yang sifatnya ritual keagamaan hingga apresiasi seni tradisi lokal sampai pameran dan pasar malam. Kultur lokal dan kultur modern seakan melebur dalam waktu bersamaan dalam momentum sekaten.
Namun ada dimensi kesejarahan yang sering dilupakan oleh masyarakat, bahwa Sekaten secara historis telah dikenal sejak zaman kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pada masa itu, makna dan perayaan Sekaten mengacu pada kata sekati; berasal dari kata suka-ati (satuan berat 680 kilogram), kemudian mengalami transformasi bentuk menjadi Sekaten yang merujuk pada kata dalam bahasa Arab Islam ”Syahadatain” yang mulai dilestarikan pada zaman Kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu Kerajaan Demak. Perubahan makna dalam transformasi konotatifnya bila ditilik dan ditelusuri semenjak zaman Majapahit hingga Demak berkutat pada pemaknaan dan asal kata Sekaten – hal ini mengakibatkan perubahan bentuk substansial – pun juga menghasilkan perubahan signifikan seiring proses konversi (pemelukan) agama Islam – dari yang sebelumnya beragama (pemaknaan) Hindu menjadi beragama (pemaknaan) Islam.
Memandang Sekaten, oleh karena itu, jangan hanya dalam bingkai perspektif agama an sich atau dalam kacamata budaya lokal – budaya Jawa – belaka. Cara pandang yang demikian akan mengakibatkan distorsi yang cenderung memunculkan perdebatan yang kunjung berhenti. Perdebatan tersebut akan bermuara pada masalah tafsir terhadap agama – dimensi normatif dan historis serta Islam sebagai das sein dan das sollen – serta berujung pada perpecahan dan perselisihan pendapat bila perbedaan tersebut tidak dibingkai dalam upaya untuk memperoleh dan memperkuat jalinan ”ukhuwah” Islamiyah, Wathoniyah, dan Basyariah.
Perayaan Sekaten dalam masyarakat Jawa – khususnya masyarakat Kota Yogyakarta dan sekitarnya – yang telah begitu mengakar kuat dan mentradisi tidak hanya di kalangan grass root (akar rumput) tapi juga masyarakat keseluruhan pada umumnya tidak dapat dipungkiri merupakan hasil dari ”sinergisasi” dan ”akulturasi” (perpaduan) kebudayaan, antara Islam (sebagai agama sekaligus ”budaya”) dengan budaya lokal setempat. Uraian berikut ini dimaksudkan untuk mencegah adanya perselisihan dan wacana yang sifatnya distortif dalam memandang perayaan Sekaten.
Hubungan dan kolaborasi antara, Islam sebagai ”teks besar” atau ”grand narrative” dengan budaya lokal tidak lagi dapat dipandang dalam frame penundukkan an sich – Islam menundukan (atau) ditundukkan oleh budaya lokal – tetapi harus dipandang bahwa proses akulturasi tersebut malah semakin menunjukkan kekayaan atau keberagaman ekspresi budaya Islam setelah bersinggungan atau bertemu dengan bangunan budaya lokal. Islam tidak melulu dipandang dalam dimensi keuniversalitasannya – walaupun pada titik ini orang yang beragama Islam harus tetap berkeyakinan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang paripurna dan universal – tetapi juga bahasa dan sikap akomodatif ”Islam” dalam menerima dan mengapresiasi budaya lokal. Di sisi lain, budaya lokal tidak pula melulu kita pandang sebagai bagian yang harus selalu mengalah kepada Islam, namun ia – budaya lokal – pasti mempunyai kacamata sendiri dalam membahasakan Islam menurut perspektifnya sendiri. Cara pandang yang seperti ini akan menghasilkan konstruksi pemahaman baru yang peranannya sangat signifikan dalam proses pembauran dan perpaduan antara dua unsur budaya yang berbeda sehingga menghasilkan akulturasi budaya yang massif dan mengakar di masyarakat tanpa menghilangkan substansi dari dua unsur budaya yang bertemu.
Perspektif lain yang ingin dihadirkan melalui perayaan Sekaten adalah Islam telah mengalami pembacaan ulang – dalam hal ini bukan bersifat merubah nilai atau ajaran substansial Islam – melalui kacamata pribumi atau lokalitas yang sudah pasti berbeda dengan Islam di tempat asalnya, Jazirah arab atau Timur Tengah. Dalam hal ini telah terjadi proses ”Pribumisasi Islam” – meminjam terminologi Gus Dur – atau telah terjadi upaya membumikan Islam – menurut Syafi’i Ma’arif – terhadap nilai-nilai substansial dalam Islam. Sebuah proses bargaining budaya telah terjadi yang mengikutsertakan dua unsur budaya yang bertemu. Proses tawar-menawar ini melibatkan perilaku adaptasi dan akomodasi dengan semangat menciptakan tatanan budaya baru yang dapat diterima bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar