Sabtu, 14 April 2012

Bahasa Melayu

Bahasa Melayu mencakup sejumlah bahasa yang saling bermiripan yang dituturkan di wilayah Nusantara dan beberapa tempat lain. Sebagai bahasa yang luas pemakaiannya, bahasa ini menjadi bahasa resmi di Brunei, Indonesia (sebagai bahasa Indonesia), dan Malaysia (juga dikenal sebagai bahasa Malaysia); salah satu bahasa yang diakui di Singapura; dan menjadi bahasa kerja di Timor Leste (sebagai bahasa Indonesia).

Bahasa Melayu merupakan lingua franca bagi perdagangan dan hubungan politik di Nusantara pada masa pra-kolonial. Migrasi kemudian juga turut memperluas pemakaiannya. Selain di negara yang disebut sebelumnya, bahasa Melayu dituturkan pula di Afrika Selatan, Sri Lanka, Thailand selatan, Filipina selatan, Myanmar selatan, sebagian kecil Kamboja, hingga Papua Nugini. Bahasa ini juga dituturkan oleh penduduk Pulau Christmas dan Kepulauan Cocos, yang menjadi bagian Australia.

Bahasa Melayu termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia dan catatan tertulis pertama dalam bahasa Melayu ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, di wilayah yang sekarang dianggap sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya. Istilah "Melayu" sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi. Akibat penggunaannya yang luas, berbagai varian bahasa dan dialek Melayu berkembang di Nusantara.

Sekedar ingin menambah referensi tentang bahasa melayu, berikut adalah kosa kata bahasa melayu yang sering disebutkan oleh orang Melayu kepulauan riau.

Arkib = arsip
Angit = bau hangus

Bedegap = kuat
Bedelau = cantik
Begajul = bandel
Belacan = terasi
Bengal = keras kepala
Betik = pepaya
Bile = kapan
Bilis = teri
Bingal = bandel
Bomo = dukun, tabib, pawang
Buluh = bambu
Butang = kancing

Calar = barut/parut, baret, goresan luka
Cekau = kelahi
Cencalok = acar yang terbuat dari teri halus, bawang, cabe
Cindai = selendang
Comel = cantik

Dedah = buka, terbuka, membuka
Degil = nakal, bandel
Dikau = kamu

Gasal = ganjil
Gerubuk = lemari makan di dapur
Gubal Sagu = makanan dari sagu yang digumpalkan
Guli = kelereng

Habuk = debu (bukan abu arang hasil pembakaran)

Jolok = mengambil sesuatu dengan tongkat panjang/galah

Kanun = meriam kecil, gerombolan/pasukan angkatan laut
Kasut = terompah/sendal
Kedekut = kikir, sangat pelit
Kecoh = ribut
Kemaruk = rakus
Koret = sisa
Koret-koret = sisa/mengorek
Kude-kude = tempat duduk rendah

Lanun = Perampok di laut, bajak laut
Lapik = alas tikar
Lasak = tak diam
Lawa = cantik/ganteng
Lempeng sagu = sejenis makanan dari sagu yang dibuat pipih/dadar
Lokek = pelit (belum mencapai tahap kedekut)
Longkang = parit/got/comberan
Lori = truk
Lucah = keji/kejam, kotor, tidak senonoh

Marwah = harga diri
Menyanyah = mengada-ada, berbicara tidak menentu
Montel = gemuk
Mustahak = penting, perlu, wajib, harus

Nyanyok = agak lupa
Nyiur = kelapa

Pelasah = hajar
Pelik = susah, rumit, sulit
Penyamun = Perampok di darat dan di laut
Perigi = sumur
Pinggan = piring
Pondok-pondok (bukan "pondok" dalam satu kata saja) = rumah-rumahan tanpa dinding
Puan = perempuan

Rasuah = sogokan
Rengut = cemberut
Resam = adat istiadat

Selap/Nyelap = berlebihan
Selipar = sendal
Seluar = celana
Sementung = cemberut
Sempak = celana dalam
Senarai = daftar, catatan
Sengak = sombong/angkuh
Seronok = senang, gembira
Sotong = cumi-cumi
Sudu = sendok
Suluh = lampu

Tamadun = budaya
Tambul = makanan ringan
Tayang = tampar pelan
Telajak = terlewat
Tekeng = bandel
Tembilang/Sembilang/Taji/Baji = alat untuk melobang tanah
Tempias = percikan air
Tempoyak = makanan dari durian yang diasamkan
Teruk = parah, susah, sulit
Tesasol = tersalah cakap/bicara
Tingkap = jendela
Tuah = untung, berkah
Tungkus lumus = kerja keras
Zuriat = anak cucu keturunan

Adat Istiadat Melayu

Adat Istiadat
 
Adat adalah tata cara yang mengatur tingkah laku manusia dalam segala aspek kehidupannya. Dengan demikian, dalam masyarakat yang menjunjung tinggi adat segala kegiatan kehidupannya diatur oleh adat.

Jika ditinjau dari sumbernya, orang melayu dalam arti luas mengenal kepada dua macam adat. Kedua macam adat itu ialah:
1. Adat temenggungan
2. Adat perpatih

Adat temenggungan adalah warisan Datuk Temenggung. Adat temenggungan mengandung sistem patrilineal yaitu garis keturunan berdasarkan keturunan bapak. Orang Melayu Kepulauan Riau menggunakan adat temenggungan ini. Sedangkan adat Perpatih merupakan warisan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Adat Perpatih mengembangkan sistem matrilineal yaitu garis keturunan berdasarkan pada keturunan ibu. Adat perpatih berlaku dalam sebagian masyarakat melayu Riau Daratan.
Jika ditinjau dari sudut hirarkinya, adat melayu dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:
Adat sebenar adap
1. Adat yang diadatkan
2. Adat yang teradat

Adat sebenar adat ialah prinsip-prinsip yang bersumber dari agama Islam. Aturan adat ini tiadalah dapat diubah-ubah. Adat yang pertama ini tersimpul dengan ungkapan “Berdiri adat karena syarak”.
Adat yang diadatkan ialah prinsip-prinsip adat yang disusun oleh penguasa Melayu (Raja, Pemuka adat, dll). Adat sejenis ini dapat pula berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan pandangan pihak penguasa sesuai dengan ungkapan “Sekali air bah, sekali tepian berubah”.

Adat yang teradat ialah sikap, tindakan, dan putusan bersama atas dasar musyawarah yang dirasakan cukup baik oleh masyarakat. Inilah yang kemudian menjadi kebiasaan turun-temurun. Adat jenis ketiga ini pun dapat berubah sesuai dengan kehendak zaman.

Dalam masyarakat Melayu Kepulauan Riau, ketiga jenis adat di atas berlaku dalam mengatur kehidupan keseharian. Di kampung-kampung, aturan adat tersebut masih banyak yang diperhatikan dan di indahkan, tetapi di daerah perkotaan mengalami kecendrungan agak melonggar.
KEBUDAYAAN

Kebudayaan ialah akal-budi manusia yang dijelmakan ataupun digambarkan dalam wujud gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya perilaku, dan hasil karya Maka kebudayaan itu terdiri daripada tujuh unsur yang universal (Koentjaraningrat, 1983 : 2).
Ketujuh unsur ialah sebagai berikut:
1. Sistem religi dan upacara keagamaan dan adat.
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan.
3. Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem mata pencaharian
7. Sistem teknologi

Maka dengan demikian kebudayaan itu dapatlah dikelompokkan atas dua kelompok besar (utama).
1. Pertama, disebut kebudayaan warisan.
2. Kedua, kebudayaan yang hidup.

Kebudayaan warisan semua berwujud artifact. Artifact kebudayaan warisan itu: (1) yang terdapat ex situ di museum (2) yang terdapat in situ, di situs arkeologi, yang meliputi peninggalan dari zaman prasejarah, zaman pengaruh India, zaman pengaruh Islam, dan zaman pengaruh Barat.
Kebudayaan yang dibedakan atas(1) kebudayaan tradisional dan (2) kebudayaan kontemporer.
Kebudayaan tradisional ada yang berupa artifact yang terdapat di museum, tetapi ada yang berupa act meliputi:
1. Adat-istiadat dan kebiasaan tradisional;
2. Sistem/organisasi kemasyarakatan tradisional;
3. Sistem pengetahuan tradisional:
4. Kesenian tradisional;
5. Bahasa klasik;
6. Permainan dan olahraga tradisional;
7. Makanan dan Minuman tradisional;
8. Kerajinan tradisonal;
9. Pakaian tradisional;
10. Seni bina (arsitektur) tradisional;
11. Sistem tegnologi.

Kebudayaan kontemporer ada yang berupa artifact yang terdapat dalam museum modern dan di tengah masyarakat. Ada pula yang berupa act yang meliputi unsur-unsur sebagai berikut ini:
1. cara hidup modern;
2. sistem / organisasi kemasyarakatan modern;
3. sistem pengetahuan modern;
4. kesenian kontemporer;
5. bahasa modern;
6. permainan dan atau olahraga modern;
7. makanan dan minuman modern;
8. kerajinan kontemporer;
9. pakaian modern;
10. arsitektur modern;
11. sistem mata pencaharian;
12. sistem teknologi dan peralatan modern.


Kesemua unsur kebudayaan yang diperkatakan diatas, baik kebudayaan warisan maupun kebudayan yang hidup; yang tradisional maupun yang modern, merupakan kekuatan kebudayaan yang menjadi modal penting bagi suatu daerah dan masyarakatnya.

Konon di dalam kitab ini penyusunannya tiadalah mengikut kepada cara dari kalangan orang-orang pandai dan cendikia (akademis), melainkan kepada cara yang mudah bagi orang kampung. Jika menghitung, mengikuti kepada angka yang terendah dahulu. Dan begitulah seterusnya.

Syahdan, dalam kehidupan masyarakat orang Melayu dikenal kepada beberapa upacara yang sebahagiannya masih diperturut kepada adat resamnya. Tersebutlah kepada aturan cara pada upacara yang dilakukan oleh orang Melayu kepada ketiga tuntunan utama, yaitu kelahiran, perkawinan dan kematian. Ketiga upacara utama inilah amatlah pentingnya dalam kehidupan orang Melayu, karena manusia hidup melalui kepada tiga masa yang paling penting, yaitu ketika manusia dilahirkan ke dunia, memasuki jenjang perkawinan dan saat manusia meninggalkan dunia yang fana.

Akan tetapi memandangkan kepada kehidupan itu sendiri tidaklah hanya melaui pada ketiga “masa” penting itu saja, melainkan juga ketika memasuki masa kanak dengan segala kelangkapannya, masa remaja atau akhil balig kemudian barulah memasuki masa perkawinan. Kemudian pula mengalami berbagai kegiatan kehidupan bermasyarakat yang syarat oleh aturan ataupun tata cara sekaliannya, sehinggalah memasuki usia tua, akhirnya kembali Kepada Sang Pencipta Allah azza wajallah.

Maka dipertanyakan orang, manakah yang terlebih dahulu ada, apakah telur atau anak ayam. Dan setiap kali pertanyaan yang demikian muncul mendatangkan suatu keragu-raguan kepada kita untuk menjawabnya. Samalah dengan masalah budaya dan manusia. Oleh sebab itu, menurut hemat kami hal yang demikian itu tiadalah perlu diperpanjang-panjangkan sehingga mendatangkan kepada fi’il yang kurang berpatutan. Maka kita akan memulai langkah dengan memilih pelangkah yang baik dan berurut-urutan supaya lebih mudah untuk menyimak dan menyelusurinya dalam rentang perjalanan kehidupan anak Melayu itu sendiri.

Sejarah Asal Usul Orang Melayu

Sejarah Asal Usul Orang Melayu

Dalam buku Sejarah Melayu disebut bahwa Melayu adalah nama sungai di Sumatera Selatan yang mengalir disekitar bukit Si Guntang dekat Palembang. Si Guntang merupakan tempat pemunculan pertama tiga orang raja yang datang ke alam Melayu. Mereka adalah asal dari keturunan raja-raja Melayu di Palembang (Singapura, Malaka dan Johor), Minangkabau dan Tanjung Pura.
Sejarah Melayu (Malay Annals) merupakan karya tulis yang paling penting dalam bahasa Melayu yang merupakan sumber yang otentik untuk informasi mengenai ke-Melayu-an. Disusun sekitar tahun 1612 tetapi didasarkan catatan-catatan yang lebih tua.
Disebut juga bahwa anggota kerajaan Malaka menyebut diri mereka keturunan Melayu dari daerah Palembang. Seperti keluarga raja-raja di Negeri Sembilan yaitu: Yang Dipertuan Ali Alamsyah yang dianggap keturunan langsung dari Raja Minangkabau terakhir.
Pada waktu itu sebutan Melayu merujuk pada keturunan sekelompok kecil orang Sumatera pilihan. Seiring dengan berjalannya waktu definisi Melayu berdasarkan ras ini mulai ditinggalkan.
Definisi Melayu menjadi berdasarkan budaya dan adat, dimana orang Melayu adalah orang yang mempunyai etika, tingkah laku dan adat Melayu. Pada waktu Islam mulai dianut didaerah Sumatera dan Semenanjung Malaka, keyakinan dan ketaatan terhadap agama islam menjadi salah satu ciri khas dari orang Melayu.
Pada abad ke-18, William Marsden menyebutkan bahwa dalam percakapan sehari-hari, penyebutan bangsa Melayu adalah sama dengan sebutan bangsa Moor di India dalam artian ketaatannya terhadap agama Islam.



Reference:
Virginia Matheson, Encyclopaedia of Asian History: Prepared under auspices of the asia society, Book 2, Malays, page 471, 1988, MacMilan Publishing Company
R.O. Winstedt, The Malays: A Cultural History, revised and updated by Than Seong Chee (1981)
G. Benjamin, “In the long term: Three Themes in Malayan Cultural Ecology,” in Cultural Values and Tropical Ecology in Southeast Asia, edited by K. Hutterer and T. Rambo (1985).

Suku Bangsa Melayu

Suku Bangsa Melayu


Adapun perkataan Melayu itu sendiri mempunyai kepada tiga pengertian, yaitu :
  1. Melayu dalam pengertian “ras” di antara berbagai ras lainnya.
  2. Melayu dalam pengertian sukubangsa yang dikarenakan peristiwa dan perkembangna sejarah, juga dengan adanya perubahan politik menyebabkan terbagi-bagi kepada bentuk negara seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei dan Filipina.
  3. Melayu dalam pengertian suku, yaitu bahagian dari suku bangsa Melayu itu sendiri.



Di Indonesia yang dimaksud dengan suku bangsa Melayu adalah yang mempunyai adat istiadat Melayu, yang bermukim terutamanya di sepanjang pantai timur Sumatera, di Kepulauan Riau, dan Kalimantan Barat. Pemusatan suku bangsa Melayu adalah di wilayah Kepulauan Riau. Tetapi jika kita menilik kepada yang lebih besar untuk kawasan Asia Tenggara, maka ianya terpusat di Semenanjung Malaya.*)

Kemudiannya menurut orang Melayu, yang dimaksud orang Melayu bukanlah dilihat daripada tempat asalnya seseorang ataupun dari keturun darahnya saja. Seseorang itu dapat juga disebut Melayu apa bila ia beragama Islam, berbahasa Melayu dan mempunyai adat-istiadat Melayu. Orang luar ataupun bangsa lain yang datang lama dan bermukim di daerah ini dipandang sebagai orang Melayu apabila ia beragama Islam, mempergunakan bahasa Melayu dan beradat istiadat Melayu.

Berdasarkan hal yang demikian, orang Melayu dapat menetapkan yang disebut :
  • Orang yang bukan Melayu, karena tidak beragama Islam, tidak berbahasa Melayu dan tidak mempunyai adat-istiadat lain dari orang Melayu.- Orang yang baru masuk Melayu, yaitu orang baru saja memeluk agama Islam, sudah mulai dapat berbahasa Melayu sedikit-sedikit tapi masih belum bertata-cara berdasarkan adat-istiadat Melayu.
  • Orang Melayu tidak totok (tidak murni). Yang tergolong kelompok ini ialah orang Laut atau Sampan. Orang Laut yang sudah lama bermasyarakat dan “naik ke darat” dan telah memeluk agama Islam serta memakai adat-istiadat Melayu, namun mereka tidak dipandang sebagai Melayu totok karena mereka mempunyai bahasa sendiri dan tidak berbahasa Melayu sebagai bahasa percakapan sehari-hari.
  • Orang Laut terbagi beberapa suku yang lebih kecil yaitu orang Galang, orang Barok, orang Tambus, orang Kuala, orang Hutan, orang Mantang dan orang Posek.
  • Orang Galang, orang Barok, orang Kuala, orang Hutan dan orang Posek, termasuk orang Laut yang sudah menetap di darat. Orang Galang tinggal di Pulau Karas dan Pulau Galang. Orang Barok tinggal di Pulau Penuba, orang Kuala tinggal di Pulau Kundur dan di Pulau Rempang.
  • Orang Mantang dan orang Tambus, ialah orang Laut yang masih berkelana di laut. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 7 sampai 8 buah sampan. Sampan atau perahu ini merupakan milik mereka yang paling berharga yang berukuran antara 2 x 3 M. Di dalam sampan itulah mereka hidup berkeluarga dan membesarkan anak-anak. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain tergantung kepada keadan musim.
  • Orang Melayu Totok, ialah orang Melayu yang lahir dan berasal dari orang Melayu itu sendiri. Mereka beragama Islam, berbahasa Melayu dan beradat istiadat Melayu. Orang Melayu Totok konon, dahuluny merasa kedudukannya lebih tinggi dari orang Melayu yang tidak cocok. Sebahagian besar orang Melayu Totok ini tinggal di bekas-bekas ibukota kerajaan Melayu Riau-Lingga seperti di Daik dan Pulau Penyengat. Dulu kedua tempat ini sebagai pusat Kerajaan Melayu yang megah. Sampai ke hari ini, walaupun kebesaran kerajaan telah lama pupus, namun di kedua tempat tersebut sampai ke hari ini masih menggunakan bahasa Melayu dengan baik. Suatu bahasa yang kemudiannya dijadikan dasar untuk bahasa Indonesia.

Masyarakat Melayu mengenal pul dua istilah lainnya yaitu : pengertian masuk Melayu dan keluar Melayu. Orang yang masuk Melayu ialah orang luar atau orang asing yang baru saja menjadi orang Melayu yang sudah memeluk agama Isalam, berbahasa dan memakai adat istiadat Melayu. Sebaliknya yang dimaksud dengan keluar Melayu ialah Melayu yang meninggalkan kehidupan sebagai orang Melayu, baik bahasa, adat istiadat dan agama. **)

Jika menilik kepada pembagian yang sedemikian itu bukanlah akan mengarah kepada “retak menanti belah” malah sebaliknya yaitu dengan keberagaman tersebut termasuk kepada pengertian itu sendiri, adalah sebagai “bunga rampai” di dalam baki, yang semakin menambah harum dan serinya ruang kehidupan.

Dengan memperkatakan prihal itu bukanlah hendak menunjuk, mana yang lebih, mana yang kurang. Kesemuanya mempunyai keterkaitan yang erat, apatah lagi jika ditilik dari perjalanan sejarah, bahwa antara yang satu dengan yang lainnya tersangatlah erat perhubungannya. Ibarat teli yang berpilin. Al-hasil, jikapun terdapat perbedan antara satu dengan lainnya justru ianya sebagai “bunga rampai” yang menambah kepada kekayaan khasanah budaya itu sendiri. Prihal yang sedemikian itu juga kita jumpai di derah kita sendiri, yakni Kepulauan Riau. Keberbagaian yang ada tidak hanya kepada seni budaya bahkan bahasa antara satu daerah dengan daerah yang lain memiliki dialeg dan kosakata yang agak berbeda. Tetapi itulah, sebagai mana yang dikatakan sebelumnya, keberbagaian itu malahan memperkaya khasanah budaya yang ada.

Memanglah sangat diakui, jika hanya mengambil kepada yang satu, tentulah yang satu lainnya akan merasa kurang mendapat tempat, dan mungkin daripadanya dapatlah mendatangkan rasa yang kurang selesa. Oleh karenanya dalam keadaan yang sedemikian itu, maka diperbuatlah kerja kepada yang tengah, dengan beriktibar kepada yang di atas dan juga di bawah, demikian juga kepada yang di kanan dan di kiri ibarat sebagai kata pengokoh adalah tiang di dalam rumah.

Jika hendak melihat kepada kebesaran sesuatu bangsa, bolehlah dilihat kepada budayanya dapatlah diperkatakan memiliki unsur-unsur semacam bentuk keadaan masyarakat, mata pencaharian, teknologi, pengetahuan, agama, bahasa dan kesenian. Hal yang sedemikian itu sememangnyalah menjadi sesuatu kekuatan yang menyatukan di antara satu kepada yang lainnya. Sehinggakan ianya mengekal kokoh, besar dan menjulang tinggi.

Kebudayaan nasional Indonesia pada dasarnya adalah merpuakan puncak-puncak kebudayaan di daerah di seluruh Indonesia. Termasuklah diantaranya kebudayaan yang ada di daerah Melayu. Oleh hal yang sedemikian menjadi kewajiban kepada pemerintah dan keseluruhan unsur pendukung untuk mengekal-kuatkan sekaliannya memajukan dan mengembangkan berbagai khasanah yang berkaitan dengan kemajuan kebudayaan Indonesia yang dapat memperkaya kepada kebudayaan itu sendiri.

Keterangan :
*) Sindu Galba, Pendataan Naskah Kuno, Tanjungpinang BKS 1994/1995.
**) Dalam kenyataannya kejadian keluar Melayu adalah sangat jarang terjadi

Melayu Indonesi Dan Melayu Malaysia

Melayu Indonesia Dan Melayu Malaysia

Pada dasarnya melayu indonesia dan melayu malaysia merupakan satu suku yang sesungguhnya tidak ada bedanya ,Hanya karena penjajahanlah maka suku Melayu ini terpisah. Malaysia (dari kata Melayu) yang dijajah Inggris menjadi negara Malaysia, sementara Indonesia dari berbagai suku (termasuk Ambon dan Papua) yang dijajah Belanda jadi negara Indonesia.




Melayu Indonesia adalah suku Melayu yang tinggal di sepanjang Indonesia, sebagai salah satu suku asli negara pulau tersebut. Indonesia mempunyai penduduk Melayu kedua besar selepas Malaysia. Menurut sejarah, Bahasa Indonesia,yaitu bahasa kebangsaan Indonesia, berasal dari Bahasa Melayu yang ditutur di Riau, sebuah provinsi di Sumatra timur. Ada beberapa bilangan kerajaan Melayu di Indonesia yang meliputi pulau Sumatra dan Kalimantan, yang mana sesetengahnya yang terkenal adalah Srivijaya, Kerajaan Melayu, Kesultanan Deli, Kesultanan Johor-Riau dan Kesultanan Sambas,

Di riau masih bnyak juga peninggalan dan kerajaan-kerajaan melayu seperti Siak dan Bengkalis,dapat kita lihat pada melayu di riau terutama di bengkalis melayunya sangat kental sekali dan bisa di bilang masih tulen. Beda dengan kota-kota tetangganya sudah bercampur aduk dengan suku minang sehingga bahasa melayu pun dikota tersebut mulai hilang seperti kota Dumai,Siak,Pekanbaru dan kota-kota tetangganya.

Apakah melayu indonesia melayu bajakan????
jawabanya tidak, seperti yang saya bahas tadi melayu terpisah karena penjajah, jadi intinya melayu kita satu yang membedakan adalah dari segi bahasa yang ujung bahasa "O" dan "E". Contoh : mengapo (versi Indonesia) mengape (versi Malaysia), ada juga melayu indonesia memakai bahasa yang vokal ujungnya adalah "E" yaitu kota Bengkalis.itu pun hanya sebagian kecil, kepualauan Riau, daerah SUMUT Deli Serdang dan pada umunya melayu Indonesia memakai ujung vokalnya adalah O

Pokoknya Takkan Melayu Hilang Dimuka Bumi....!!!

Jati Diri Anak Melayu

Di zaman penjajahan Belanda, tersebarlah suatu anggapan dari pihak kolonial berkenaan orang Melayu, bahwasanya orang Melayu kononnya memiliki semangat kerja yang kurang (pemalas), cepat merasa puas dan tiadalah berpikiran maju ke hadapan. Kemudian diperkatakan pula orang Melayu sebagai masyarakat yang tinggal berdekatan dengan laut dan laut sebagai sumber mata pencaharian, ada pula yang tinggal di pinggir-pinggir sungai dengan mata pencaharian berburu, menyadap getah dan pencaharian yang lain.

1. Seseorang disebut Melayu apabila sehari-hari berbahasa Melayu, beradat istiadat Melayu dan beragama Islam. Alhasil, orang Melayu itu dapat dilihat kepada agama dan budaya.

2. Orang Melayu selalu percaya kepada Allah SWT dan selalu mengikuti ajaran Rasulullah; hal ini diperkuat dengan peribahasa : Bergantung kepada satu, berpegang kepada yang Esa.

3. Orang Melayu taat kepada hukum demi keamanan dan kemakmuran masyarakatnya, seperti peribahasa : Adat itu jika tidur menjadi tilam, jika berjalan menjadi payung, jika di laut menjadi perahu, jika di tanah menjadi pusaka. Atau Mati anak heboh sekampong, mati adat heboh sebangsa. Walaupun demikian, tidak berarti adat resam tiada boleh berubah. Jika ianya tiada berkesesuaian, maka hal yang sedemikian dapatlah diubah tanpa mengundang kepada perkara yang menghebohkan. Hal ini bersesuaian dengan peribahasa Melayu yang berbunyi : Sekali air bah, sekali tepian berubah. Atau Tiada gading yang tak retak.

4. Orang Melayu mengutamakan budi dan bahasa, karena keduanya menunjukkan kepada sopan santun dan tinggi peradabannya. Seperti peribahasa mengatakan : Usul menunjukkan asal, bahasa menunjukkan bangsa. Atau Taat pada petuah, setia pada sumpah, mati pada janji, melarat karena budi. Atau Hidup dalam pekerti, mati dalam budi. Selain daripada itu, di dalam pantun Melayu juga tersirat :

Gunung Bintan lekuk di tengah
Gunung Daik bercabang tiga,
Hancur badan di kandung tanah,
Budi baik dikenang juga.
 
5. Orang Melayu mengutamakan pendidikan dan ilmu. Hal ini tercermin dalam beberapa peribahasa yang mengambil kepada hadist Rasulullah, yaitu :

6. Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina, atau Menuntut ilmu itu sejak dalam buaian sampai ke liang lahat.

7. Orang Melayu mengutamakan budaya Melayu, becakap/berbicara tidaklah kasar, memakai baju menutupi aurat, menjauhkan pantang larang dan dosa. Biarlah mati daripada keluarga menanggung malu. Orang Melayu juga pandai menjaga air muka orang lain. Kalaupun marah cukup dengan sindiran. Seperti peribahasa mengatakan : Marahkan anak, sindir menantu.

8. Orang Melayu mengutamakan musyawarah dan mufakat sebagai sendi kehidupan. Di dalam segala hal baik perkawinan, kematian, kenduri, mendirikan rumah, maupun dalam pemerintahan. Bahkan nilai-nilai ini juga dilaksanakan bagi pendatang sehingga orang Melayu sangat terkenal dengan keterbukaannya. Ada pantun yang berbunyi
Apabila meraut selodang buluh
Siapkan lidi buang miangnya
Apabila menjemput orang jauh
Siapkan nasi dengan hidangnya

9. Orang Melayu tak suka mencari lawan ataupun melawan, seperti ungkapan yang mengatakan: Pantang Melayu untuk mendurhaka. Tetapi akan melawan jika ianya terdesak, seperti pribahasa mengatakan : Musuh pantang dicari, kalau datang tidak menolak. Atau pribahasa : Alang-alang menceluk pekasam, biar sampai ke pangkal lengan. Di dalam pantun diungkapkan :

Kalau sudah dimabuk pinang,
Daripada ke mulut biarlah ke hati
Kalau sudah maju ke gelanggang
Berpantang surut biarlah mati

Mengangkat Budaya Melayu

Sebagai nilai hakiki yang dianut, budaya harus tetap dipertahankan. Kebijkan pemerintah menasionalkan kebudayaan menutup kesempatan dan peluang budaya Riau untuk bertahan dan berkembang dalam masyarakat, oleh karena itu, sebelum semua itu punah dimakan waktu diperlukan bebagai upaya untuk melakukan penggalian atas budaya yang ada diseluruh rantau Riau (adat melayu itu sendiri).
           Langkah selanjutnya, dengan menghidupkan kembali budaya lokal (sejalan dengan otonomi), kemudian menerapkan sistem budaya yang dapat menopang gerak langkah dan perjuangan peradaban bansa yang hidup di Riau sesuai dengan kaidah-kaidah ke Melayuan dan ke Islaman

           Contoh kecil yang bisa kita terapkan di kehidupan sehari - hari yaitu :
- Membangun gedung berarsitektur melayu,
- Memasyarakatkan pakaian melayu,
- Memakai bahasa melayu di ruang lingkup pergaulan,
- dll

           Selain itu perlu sekali dengan pengenalan adat melayu ditengah masyarakat, dengan menerbitkan  media informasi, acara - acara adat melayu,dan bnyak cara agar melayu tidak terendam di bumi lancang kuning

Gurindam Duabelas (12)

Gurindam dua belas adalah salah satu bentuk puisi yang terdiri dari dua baris untuk satu bait, salah satu gurindam yang terkenal adalah gurindam dua belas karanga Raja Ali Haji.
Gurindam dua belas merupakan bacaan yang sangat berharga, karena berisikan pengajaran, nasehat serta tuntunan dan apa bila dituruti akan memberikan keselamatan dunia dan akhirat.
Karena disebut Gurindam Dua Belas sebab terdiri dari dua belas pasal, setiap pasal terdiri beberapa bait dan setiap bait terdiri dari dua baris. Baris pertama disebut syarat dan baris kedua disebut jawaban syarat.



Gurindam Dua Belas

Fasal 1

barang siapa tiada memegang agama
sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama

barang siapa mengenal yang empat
maka yaitulah orang yang makrifat

barang siapa mengenal Allah
suruh dan tegahnya tiada ia menyalah

barang siapa mengenal diri
maka telah mengenal akan tuhan yang bahri

barang siapa mengenal dunia
tahulah ia barang yang terperdaya

barang siapa mengenal akhirat
tahulah ia dunia mudharat

Fasal 2

barang siapa mengenal yang tersebut
tahulah ia makna takut

barang siapa meninggalkan sembahyang
seperti rumah tiada bertiang

barang siapa meninggalkan puasa
tidaklah mendapat dua termasa

barang siapa meninggalkan zakat
tiada hartanya beroleh berkat

barang siapa meninggalkan haji
tiadalah ia menyempurnakan janji

Fasal 3

apabila terpelihara mata
sedikitlah cita-cita

apabila terpelihara kuping
khabar yang jahat tiadalah damping

apabila terpelihara lidah
niscaya dapat daripadanya faedah

bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan
daripada segala berat dan ringan

apabila perut terlalu penuh
keluarlah fi’il yang tiada senonoh

anggota tengah hendaklah ingat
di situlah banyak orang yang hilang semangat

hendaklah peliharakan kaki
daripada berjalan yang membawa rugi

Fasal 4

hati itu kerajaan di dalam tubuh
jikalau zalim segala anggota pun rubuh

apabila dengki sudah bertanah
datang daripadanya beberapa anak panah

mengumpat dan memuji hendaklah pikir
di situlah banyak orang yang tergelincir

pekerjaan marah jangan dibela
nanti hilang akal di kepala

jika sedikit pun berbuat bohong
boleh diumpamakan mulutnya itu pekung

tanda orang yang amat celaka
aib dirinya tiada ia sangka

bakhil jangan diberi singgah
itulah perompak yang amat gagah

barang siapa yang sudah besar
janganlah kelakuannya membuat kasar

barang siapa perkataan kotor
mulutnya itu umpama ketor

di manatah tahu salah diri
jika tiada orang lain yang berperi

pekerjaan takbur jangan direpih
sebelum mati didapat juga sepih

Fasal 5

jika hendak mengenal orang berbangsa
lihat kepada budi dan bahasa

jika hendak mengenal orang yang berbahagia
sangat memeliharakan yang sia-sia

jika hendak mengenal orang mulia
lihatlah kepada kelakuan dia

jika hendak mengenal orang yang berilmu
bertanya dan belajar tiadalah jemu

jika hendak mengenal orang yang berakal
di dalam dunia mengambil bekal

jika hendak mengenal orang yang baik perangai
lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai

Fasal 6

cahari olehmu akan sahabat
yang boleh dijadikan obat

cahari olehmu akan guru
yang boleh tahukan tiap seteru

cahari olehmu akan isteri  
yang boleh menyerahkan diri

cahari olehmu akan kawan
pilih segala orang yang setiawan

cahari olehmu akan abdi
yang ada baik sedikit budi

Fasal 7

apabila banyak berkata-kata
di situlah jalan masuk dusta

apabila banyak berlebih-lebihan suka
itulah tanda hampirkan duka

apabila kita kurang siasat
itulah tanda pekerjaan hendak sesat

apabila anak tidak dilatih
jika besar bapanya letih

apabila banyak mencacat orang
itulah tanda dirinya kurang

apabila orang yang banyak tidur
sia-sia sahajalah umur

apabila mendengar akan khabar
menerimanya itu hendaklah sabar

apabila mendengar akan aduan
membicarakannya itu hendaklah cemburuan

apabila perkataan yang lemah lembut
lekaslah segala orang mengikut

apabila perkataan yang amat kasar
lekaslah orang sekalian gusar

apabila pekerjaan yang amat benar
tiada boleh orang berbuat honar

Fasal 8

barang siapa khianat akan dirinya
apalagi kepada lainnya

kepada dirinya ia aniaya
orang itu jangan engkau percaya

lidah suka membenarkan dirinya
daripada yang lain dapat kesalahannya

daripada memuji diri hendaklah sabar
biar daripada orang datangnya khabar

orang yang suka menampakkan jasa
setengah daripada syirik mengaku kuasa

kejahatan diri sembunyikan
kebajikan diri diamkan

keaiban orang jangan dibuka
keaiban diri hendaklah sangka

Fasal 9

tahu pekerjaan tak baik tapi dikerjakan
bukannya manusia ia itulah syaitan

kejahatan seorang perempaun tua
itulah iblis punya penggawa

kepada segala hamba-hamba raja
di situlah syaitan tempatnya manja

kebanyakan orang yang muda-muda 
di situlah syaitan tempat bergoda

perkumpulan laki-laki dengan perempuan
di situlah syaitan punya jamuan

adapun orang tua yang hemat
syaitan tak suka membuat sahabat

jika orang muda kuat berguru
dengan syaitan jadi berseteru

Fasal 10

dengan bapa jangan durhaka
supaya Allah tidak murka

dengan ibu hendaklah hormat
supaya badan dapat selamat

dengan anak janganlah lalai
supaya boleh naik ke tengah balai

dengan isteri dan gundik janganlah alpa
supaya kemaluan jangan menerpa

dengan kawan hendaklah adil
supaya tangannya jadi kapil

Fasal 11

hendaklah berjasa
kepada yang sebangsa

hendaklah jadi kepala
buang perangai yang cela

hendak memegang amanat
buanglah khianat

hendak marah
dahulukan hujjah

hendak dimalui
jangan memalui

hendak ramai
murahkan perangai 

Fasal 12

raja mufakat dengan menteri
seperti kebun berpagar duri

betul hati kepada raja
tanda jadi sebarang kerja

hukum adil atas rakyat
tanda raja beroleh inayat

kasihkan orang yang berilmu
tanda rahmat atas dirimu

hormat akan orang yang pandai
tanda mengenal kasa dan cindai

ingatkan dirinya mati
itulah asal berbuat bakti

akhirat itu terlalu nyata
kepada hati yang tidak buta

Masakan Khas Melayu Riau

Masakan Khas Melayu Riau  kali ini Terubuk.Com memberikan informasi tentang makanan khas riau, kuliner di riau bermacam - macam, kuliner ini dari turun temurun dari nenek moyang kita yang berasal dari tanah melayu
Makanan khas riau - Masakan Khas Riau tetap memiliki ciri khas dibandingkan masakan daerah lain. Seperti salah satu masakan khas Riau berupa Sambal terung Asam. Kuliner ini juga terdapat di Kalimantan. Lalu gulai asam pedas ikan patin mungkin juga dapat ditemukan daerah Sumatra lainnya.

Berikut daftar menu kuliner, masakan Riau beserta resepnya yang-bisa ditemukan di-berbagai tempat Bumi Lancang Kuning :

- Gulai Asam Pedas Ikan Patin, Masakan Khas Riau daratan

- Gulai Belacan, Masakan Khas Riau pantai timur Sumatra

- Gulai Sayur Lemak Kuah Santan, Kuliner Khas Riau

- Sambal Terung Asam, Masakan Khas Melayu Riau

- Bacah Daging, Kuliner - Makanan Khas Riau

- Gulai Belacan Udang - Makanan Khas Riau

SEKATEN= sebuah proses akulturasi budaya dan pribumisasi islam

SEKATEN
Sebuah Proses Akulturasi Budaya dan Pribumisasi Islam
* Oleh : Alif Lukmanul Hakim
Sekaten secara lughawi (etimologi atau tata bahasa Arab) berasal dari kata ”Syahadatain”; yang berarti Dua Kalimat Syahadat. Sekaten – yang saat ini sedang dirayakan oleh sebagian besar masyarakat Yogyakarta – merupakan sebuah rangkaian kegiatan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat bersama dengan Pemerintah Kota Yogyakarta dan masyarakat. Berbagai bentuk acara dan kegiatan dilangsungkan dalam perayaan Sekaten – yang beraneka ragam variasi dan macamnya seiring perubahan waktu – mulai dari yang sifatnya ritual keagamaan hingga apresiasi seni tradisi lokal sampai pameran dan pasar malam. Kultur lokal dan kultur modern seakan melebur dalam waktu bersamaan dalam momentum sekaten.
Namun ada dimensi kesejarahan yang sering dilupakan oleh masyarakat, bahwa Sekaten secara historis telah dikenal sejak zaman kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pada masa itu, makna dan perayaan Sekaten mengacu pada kata sekati; berasal dari kata suka-ati (satuan berat 680 kilogram), kemudian mengalami transformasi bentuk menjadi Sekaten yang merujuk pada kata dalam bahasa Arab Islam ”Syahadatain” yang mulai dilestarikan pada zaman Kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu Kerajaan Demak. Perubahan makna dalam transformasi konotatifnya bila ditilik dan ditelusuri semenjak zaman Majapahit hingga Demak berkutat pada pemaknaan dan asal kata Sekaten – hal ini mengakibatkan perubahan bentuk substansial – pun juga menghasilkan perubahan signifikan seiring proses konversi (pemelukan) agama Islam – dari yang sebelumnya beragama (pemaknaan) Hindu menjadi beragama (pemaknaan) Islam.
Memandang Sekaten, oleh karena itu, jangan hanya dalam bingkai perspektif agama an sich atau dalam kacamata budaya lokal – budaya Jawa – belaka. Cara pandang yang demikian akan mengakibatkan distorsi yang cenderung memunculkan perdebatan yang kunjung berhenti. Perdebatan tersebut akan bermuara pada masalah tafsir terhadap agama – dimensi normatif dan historis serta Islam sebagai das sein dan das sollen – serta berujung pada perpecahan dan perselisihan pendapat bila perbedaan tersebut tidak dibingkai dalam upaya untuk memperoleh dan memperkuat jalinan ”ukhuwah” Islamiyah, Wathoniyah, dan Basyariah.
Perayaan Sekaten dalam masyarakat Jawa – khususnya masyarakat Kota Yogyakarta dan sekitarnya – yang telah begitu mengakar kuat dan mentradisi tidak hanya di kalangan grass root (akar rumput) tapi juga masyarakat keseluruhan pada umumnya tidak dapat dipungkiri merupakan hasil dari ”sinergisasi” dan ”akulturasi” (perpaduan) kebudayaan, antara Islam (sebagai agama sekaligus ”budaya”) dengan budaya lokal setempat. Uraian berikut ini dimaksudkan untuk mencegah adanya perselisihan dan wacana yang sifatnya distortif dalam memandang perayaan Sekaten.
Hubungan dan kolaborasi antara, Islam sebagai ”teks besar” atau ”grand narrative” dengan budaya lokal tidak lagi dapat dipandang dalam frame penundukkan an sich – Islam menundukan (atau) ditundukkan oleh budaya lokal – tetapi harus dipandang bahwa proses akulturasi tersebut malah semakin menunjukkan kekayaan atau keberagaman ekspresi budaya Islam setelah bersinggungan atau bertemu dengan bangunan budaya lokal. Islam tidak melulu dipandang dalam dimensi keuniversalitasannya – walaupun pada titik ini orang yang beragama Islam harus tetap berkeyakinan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang paripurna dan universal – tetapi juga bahasa dan sikap akomodatif ”Islam” dalam menerima dan mengapresiasi budaya lokal. Di sisi lain, budaya lokal tidak pula melulu kita pandang sebagai bagian yang harus selalu mengalah kepada Islam, namun ia – budaya lokal – pasti mempunyai kacamata sendiri dalam membahasakan Islam menurut perspektifnya sendiri. Cara pandang yang seperti ini akan menghasilkan konstruksi pemahaman baru yang peranannya sangat signifikan dalam proses pembauran dan perpaduan antara dua unsur budaya yang berbeda sehingga menghasilkan akulturasi budaya yang massif dan mengakar di masyarakat tanpa menghilangkan substansi dari dua unsur budaya yang bertemu.
Perspektif lain yang ingin dihadirkan melalui perayaan Sekaten adalah Islam telah mengalami pembacaan ulang – dalam hal ini bukan bersifat merubah nilai atau ajaran substansial Islam – melalui kacamata pribumi atau lokalitas yang sudah pasti berbeda dengan Islam di tempat asalnya, Jazirah arab atau Timur Tengah. Dalam hal ini telah terjadi proses ”Pribumisasi Islam” – meminjam terminologi Gus Dur – atau telah terjadi upaya membumikan Islam – menurut Syafi’i Ma’arif – terhadap nilai-nilai substansial dalam Islam. Sebuah proses bargaining budaya telah terjadi yang mengikutsertakan dua unsur budaya yang bertemu. Proses tawar-menawar ini melibatkan perilaku adaptasi dan akomodasi dengan semangat menciptakan tatanan budaya baru yang dapat diterima bersama.

Pernikahan Menurut Islam dari Mengenal Calon Sampai Proses Akad Nikah

Proses mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung” sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang penuh adab. Bukan “Coba dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”, sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang.
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Berikut ini kami bawakan perinciannya:
1. Mengenal calon pasangan hidup
Sebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya, begitu pula sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang berhasrat menikahinya. Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang dijalani orang-orang yang tidak paham agama, sehingga mereka menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon pasangan hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan haram hukumnya tanpa kita sangsikan.
Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si wanita.
Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fitnah (godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti bermudah-mudahan melakukan hubungan telepon, sms, surat-menyurat, dengan alasan ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri. Jangankan baru ta’aruf, yang sudah resmi meminang pun harus menjaga dirinya dari fitnah. Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui telepon antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, beliau menjawab, “Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita maka lebih baik lagi dan lebih jauh dari keraguan/fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di antara mereka, namun tujuannya untuk saling mengenal, sebagaimana yang mereka istilahkan, maka ini mungkar, haram, bisa mengarah kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا
Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)
Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi kecuali bila ada kebutuhan dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya dituduh macam-macam).” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan 3/163-164)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan
Ada beberapa hal yang disenangi bagi laki-laki untuk memerhatikannya:
- Wanita itu shalihah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu (menurut kebiasaan yang ada, pent.) dinikahi karena empat perkara, bisa jadi karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang memiliki agama. Bila tidak, engkau celaka.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 3620 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
-Wanita itu subur rahimnya. Tentunya bisa diketahui dengan melihat ibu atau saudara perempuannya yang telah menikah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ
Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur, karena aku berbangga-bangga di hadapan umat yang lain pada kiamat dengan banyaknya jumlah kalian.” (HR. An-Nasa`i no. 3227, Abu Dawud no. 1789, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil no. 1784)
-Wanita tersebut masih gadis1, yang dengannya akan dicapai kedekatan yang sempurna.
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika memberitakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia telah menikah dengan seorang janda, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَهَلاَّ جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ؟
Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis hingga engkau bisa mengajaknya bermain dan dia bisa mengajakmu bermain?!”
Namun ketika Jabir mengemukakan alasannya, bahwa ia memiliki banyak saudara perempuan yang masih belia, sehingga ia enggan mendatangkan di tengah mereka perempuan yang sama mudanya dengan mereka sehingga tak bisa mengurusi mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memujinya, “Benar apa yang engkau lakukan.” (HR. Al-Bukhari no. 5080, 4052 dan Muslim no. 3622, 3624)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالْأَبْكَارِ، فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ
Hendaklah kalian menikah dengan para gadis karena mereka lebih segar mulutnya, lebih banyak anaknya, dan lebih ridha dengan yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah no. 1861, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 623)
2. Nazhar (Melihat calon pasangan hidup)
Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghibahkan dirinya. Si wanita berkata:
ياَ رَسُوْلَ اللهِ، جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي. فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيْهَا وَصَوَّبَهُ، ثُمَّ طَأْطَأَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رًأْسَهُ
Wahai Rasulullah! Aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melihat ke arah wanita tersebut. Beliau mengangkat dan menurunkan pandangannya kepada si wanita. Kemudian beliau menundukkan kepalanya. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)
Hadits ini menunjukkan bila seorang lelaki ingin menikahi seorang wanita maka dituntunkan baginya untuk terlebih dahulu melihat calonnya tersebut dan mengamatinya. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/215-216)
Oleh karena itu, ketika seorang sahabat ingin menikahi wanita Anshar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatinya:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا، يَعْنِي الصِّغَرَ
Lihatlah wanita tersebut, karena pada mata orang-orang Anshar ada sesuatu.” Yang beliau maksudkan adalah mata mereka kecil. (HR. Muslim no. 3470 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Demikian pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu meminang seorang wanita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” “Belum,” jawab Al-Mughirah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
Lihatlah wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih pantas untuk melanggengkan hubungan di antara kalian berdua (kelak).” (HR. An-Nasa`i no. 3235, At-Tirmidzi no.1087. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 96)
Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu berkata, “Dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Al-Mughirah radhiyallahu ‘anhu: “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” ada dalil bahwa sunnah hukumnya ia melihat si wanita sebelum khitbah (pelamaran), sehingga tidak memberatkan si wanita bila ternyata ia membatalkan khitbahnya karena setelah nazhar ternyata ia tidak menyenangi si wanita.” (Syarhus Sunnah 9/18)
Bila nazhar dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan khitbah tersebut si wanita merasa si lelaki pasti akan menikahinya. Padahal mungkin ketika si lelaki melihatnya ternyata tidak menarik hatinya lalu membatalkan lamarannya, hingga akhirnya si wanita kecewa dan sakit hati. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214)
Sahabat Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku meminang seorang wanita, maka aku bersembunyi untuk mengintainya hingga aku dapat melihatnya di sebuah pohon kurmanya.” Maka ada yang bertanya kepada Muhammad, “Apakah engkau melakukan hal seperti ini padahal engkau adalah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Kata Muhammad, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَلْقَى اللهُ فيِ قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا
Apabila Allah melemparkan di hati seorang lelaki (niat) untuk meminang seorang wanita maka tidak apa-apa baginya melihat wanita tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 1864, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Ibni Majah dan Ash-Shahihah no. 98)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Boleh melihat wanita yang ingin dinikahi walaupun si wanita tidak mengetahuinya ataupun tidak menyadarinya.” Dalil dari hal ini sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً، فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ، وَإِنْ كَانَتْ لاَ تَعْلَمُ
Apabila seorang dari kalian ingin meminang seorang wanita, maka tidak ada dosa baginya melihat si wanita apabila memang tujuan melihatnya untuk meminangnya, walaupun si wanita tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang dilihat).” (HR. Ath-Thahawi, Ahmad 5/424 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath 1/52/1/898, dengan sanad yang shahih, lihat Ash-Shahihah 1/200)
Pembolehan melihat wanita yang hendak dilamar walaupun tanpa sepengetahuan dan tanpa seizinnya ini merupakan pendapat yang dipegangi jumhur ulama.
Adapun Al-Imam Malik rahimahullahu dalam satu riwayat darinya menyatakan, “Aku tidak menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan ia tidak tahu karena khawatir pandangan kepada si wanita terarah kepada aurat.” Dan dinukilkan dari sekelompok ahlul ilmi bahwasanya tidak boleh melihat wanita yang dipinang sebelum dilangsungkannya akad karena si wanita masih belum jadi istrinya. (Al-Hawil Kabir 9/35, Syarhul Ma’anil Atsar 2/372, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 9/214, Fathul Bari 9/158)
Haramnya berduaan dan bersepi-sepi tanpa mahram ketika nazhar (melihat calon)
Sebagai catatan yang harus menjadi perhatian bahwa ketika nazhar tidak boleh lelaki tersebut berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa mahram (berkhalwat) dengan si wanita. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 3259)
Karenanya si wanita harus ditemani oleh salah seorang mahramnya, baik saudara laki-laki atau ayahnya. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
Bila sekiranya tidak memungkinkan baginya melihat wanita yang ingin dipinang, boleh ia mengutus seorang wanita yang tepercaya guna melihat/mengamati wanita yang ingin dipinang untuk kemudian disampaikan kepadanya. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, Ibnul Qaththan Al-Fasi hal. 394, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/280)
Batasan yang boleh dilihat dari seorang wanita
Ketika nazhar, boleh melihat si wanita pada bagian tubuh yang biasa tampak di depan mahramnya. Bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya, seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki dan semisalnya. Karena adanya hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَي مَا يَدْعُوهُ إِلىَ نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
Bila seorang dari kalian meminang seorang wanita, lalu ia mampu melihat dari si wanita apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah ia melakukannya.” (HR. Abu Dawud no. 2082 dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 99)
Di samping itu, dilihat dari adat kebiasaan masyarakat, melihat bagian-bagian itu bukanlah sesuatu yang dianggap memberatkan atau aib. Juga dilihat dari pengamalan yang ada pada para sahabat. Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika melamar seorang perempuan, ia pun bersembunyi untuk melihatnya hingga ia dapat melihat apa yang mendorongnya untuk menikahi si gadis, karena mengamalkan hadits tersebut. Demikian juga Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu sebagaimana telah disinggung di atas. Sehingga cukuplah hadits-hadits ini dan pemahaman sahabat sebagai hujjah untuk membolehkan seorang lelaki untuk melihat lebih dari sekadar wajah dan dua telapak tangan2.
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Sisi kebolehan melihat bagian tubuh si wanita yang biasa tampak adalah ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan melihat wanita yang hendak dipinang dengan tanpa sepengetahuannya. Dengan demikian diketahui bahwa beliau mengizinkan melihat bagian tubuh si wanita yang memang biasa terlihat karena tidak mungkin yang dibolehkan hanya melihat wajah saja padahal ketika itu tampak pula bagian tubuhnya yang lain, tidak hanya wajahnya. Karena bagian tubuh tersebut memang biasa terlihat. Dengan demikian dibolehkan melihatnya sebagaimana dibolehkan melihat wajah. Dan juga karena si wanita boleh dilihat dengan perintah penetap syariat berarti dibolehkan melihat bagian tubuhnya sebagaimana yang dibolehkan kepada mahram-mahram si wanita.” (Al-Mughni, fashl Ibahatun Nazhar Ila Wajhil Makhthubah)
Memang dalam masalah batasan yang boleh dilihat ketika nazhar ini didapatkan adanya perselisihan pendapat di kalangan ulama3.
3. Khithbah (peminangan)
Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.
Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)
Dalam riwayat Muslim (no. 3449) disebutkan:
الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ
Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Maka tidaklah halal baginya menawar barang yang telah dibeli oleh saudaranya dan tidak halal pula baginya meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya meninggalkan pinangannya (membatalkan).”
Perkara ini merugikan peminang yang pertama, di mana bisa jadi pihak wanita meminta pembatalan pinangannya disebabkan si wanita lebih menyukai peminang kedua. Akibatnya, terjadi permusuhan di antara sesama muslim dan pelanggaran hak. Bila peminang pertama ternyata ditolak atau peminang pertama mengizinkan peminang kedua untuk melamar si wanita, atau peminang pertama membatalkan pinangannya maka boleh bagi peminang kedua untuk maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/282)
Setelah pinangan diterima tentunya ada kelanjutan pembicaraan, kapan akad nikad akan dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah peminangan tersebut, si lelaki bebas berduaan dan berhubungan dengan si wanita. Karena selama belum akad keduanya tetap ajnabi, sehingga janganlah seorang muslim bermudah-mudahan dalam hal ini. (Fiqhun Nisa fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
Jangankan duduk bicara berduaan, bahkan ditemani mahram si wanita pun masih dapat mendatangkan fitnah. Karenanya, ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu dimintai fatwa tentang seorang lelaki yang telah meminang seorang wanita, kemudian di hari-hari setelah peminangan, ia biasa bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar bersamanya dengan didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita memakai hijab yang syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si wanita. Namun pembicaraan mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun bacaan Al-Qur`an. Lalu apa jawaban Syaikh rahimahullahu? Beliau ternyata berfatwa, “Hal seperti itu tidak sepantasnya dilakukan. Karena, perasaan pria bahwa wanita yang duduk bersamanya telah dipinangnya secara umum akan membangkitkan syahwat. Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri dan budak perempuan yang dimiliki adalah haram. Sesuatu yang mengantarkan kepada keharaman, hukumnya haram pula.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, 2/748)
Yang perlu diperhatikan oleh wali
Ketika wali si wanita didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si wanita atau ia hendak menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan perkara berikut ini:
-Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya lelaki yang demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
-Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.
Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata menyampaikan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ
Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Bagaimana izinnya seorang gadis?” “Izinnya dengan ia diam,” jawab beliau. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
4. Akad nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Sebelum dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk menyampaikan khutbah yang dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah. Lafadznya sebagai berikut:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَلاَّ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. (آل عمران: 102)
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. (النساء: 1)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. (الأحزاب: 70-71)
5. Walimatul ‘urs
Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar ahlul ilmi, menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib, karena adanya perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah menikah:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
Selenggarakanlah walimah walaupun dengan hanya menyembelih seekor kambing4.” (HR. Al-Bukhari no. 5167 dan Muslim no. 3475)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya seperti dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan:
مَا أَوْلَمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلىَ شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلىَ زَيْنَبَ، أَوْلَمَ بِشَاةٍ
Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya dengan sesuatu yang seperti beliau lakukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara walimahnya dengan Zainab.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no. 3489)
Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya hari-hari pengantin baru. Namun disenangi tiga hari setelah dukhul, karena demikian yang dinukilkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Shafiyyah radhiyallahu ‘anha dan beliau jadikan kemerdekaan Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan walimah tiga hari kemudian.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 74: “Diriwayatkan Abu Ya’la dengan sanad yang hasan sebagaimana dalam Fathul Bari (9/199) dan ada dalam Shahih Al-Bukhari secara makna.”)
Hendaklah yang diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang yang shalih, tanpa memandang dia orang kaya atau orang miskin. Karena kalau yang dipentingkan hanya orang kaya sementara orang miskinnya tidak diundang, maka makanan walimah tersebut teranggap sejelek-jelek makanan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ
Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana yang diundang dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya sementara orang-orang miskin tidak diundang.” (HR. Al-Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 3507)
Pada hari pernikahan ini disunnahkan menabuh duff (sejenis rebana kecil, tanpa keping logam di sekelilingnya -yang menimbulkan suara gemerincing-, ed.) dalam rangka mengumumkan kepada khalayak akan adanya pernikahan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ
Pemisah antara apa yang halal dan yang haram adalah duff dan shaut (suara) dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no. 3369, Ibnu Majah no. 1896. Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1994)
Adapun makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan, lantangnya suara dan penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di tengah manusia. (Syarhus Sunnah 9/47,48)
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu menyebutkan satu bab dalam Shahih-nya, “Menabuh duff dalam acara pernikahan dan walimah” dan membawakan hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha yang mengisahkan kehadiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pernikahannya. Ketika itu anak-anak perempuan memukul duff sembari merangkai kata-kata menyenandungkan pujian untuk bapak-bapak mereka yang terbunuh dalam perang Badr, sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengarkannya. (HR. Al-Bukhari no. 5148)
Dalam acara pernikahan ini tidak boleh memutar nyanyian-nyanyian atau memainkan alat-alat musik, karena semua itu hukumnya haram.
Disunnahkan bagi yang menghadiri sebuah pernikahan untuk mendoakan kedua mempelai dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّّ صلى الله عليه وسلم كاَنَ إِذَا رَفَّأَ اْلإِنْسَاَن، إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ
Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila mendoakan seseorang yang menikah, beliau mengatakan: ‘Semoga Allah memberkahi untukmu dan memberkahi atasmu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan’.” (HR. At-Tirmidzi no. 1091, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
6. Setelah akad
Ketika mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita, lalu ia ingin masuk menemui istrinya maka disenangi baginya untuk melakukan beberapa perkara berikut ini:
Pertama: Bersiwak terlebih dahulu untuk membersihkan mulutnya karena dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap dari mulutnya. Demikian pula si istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini lebih mendorong kepada kelanggengan hubungan dan kedekatan di antara keduanya. Didapatkan dari perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersiwak bila hendak masuk rumah menemui istrinya, sebagaimana berita dari Aisyah radhiyallahu ‘anha (HR. Muslim no. 590).
Kedua: Disenangi baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya sebagaimana akan disebutkan dalam masalah mahar dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Ketiga: Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal memberinya segelas minuman ataupun yang semisalnya berdasarkan hadits Asma` bintu Yazid bin As-Sakan radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku mendandani Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk dipertemukan dengan suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah selesai aku memanggil Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat Aisyah. Beliau pun datang dan duduk di samping Aisyah. Lalu didatangkan kepada beliau segelas susu. Beliau minum darinya kemudian memberikannya kepada Aisyah yang menunduk malu.” Asma` pun menegur Aisyah, “Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aisyah pun mengambilnya dan meminum sedikit dari susu tersebut.” (HR. Ahmad, 6/438, 452, 458 secara panjang dan secara ringkas dengan dua sanad yang saling menguatkan, lihat Adabuz Zafaf, hal. 20)
Keempat: Meletakkan tangannya di atas bagian depan kepala istrinya (ubun-ubunnya) sembari mendoakannya, dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا فَلْيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا وَلْيُسَمِّ اللهَ عز وجل وَلْيَدْعُ بِالْبَرَكَةِ وَلْيَقُلْ: اللّهمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ
Apabila salah seorang dari kalian menikahi seorang wanita atau membeli seorang budak maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, mendoakan keberkahan dan mengatakan: ‘Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya’.” (HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Kelima: Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan mendoakan istrinya disenangi baginya untuk shalat dua rakaat bersamanya. Hal ini dinukilkan dari atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid Malik bin Rabi’ah Al-Anshari. Ia berkata: “Aku menikah dalam keadaan aku berstatus budak. Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara mereka ada Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhum. Lalu ditegakkan shalat, majulah Abu Dzar untuk mengimami. Namun orang-orang menyuruhku agar aku yang maju. Ketika aku menanyakan mengapa demikian, mereka menjawab memang seharusnya demikian. Aku pun maju mengimami mereka dalam keadaan aku berstatus budak. Mereka mengajariku dan mengatakan, “Bila engkau masuk menemui istrimu, shalatlah dua rakaat. Kemudian mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kebaikannya dan berlindunglah dari kejelekannya. Seterusnya, urusanmu dengan istrimu.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id”).
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Namun bukan berarti janda terlarang baginya, karena dari keterangan di atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperkenankan Jabir radhiyallahu ‘anhu memperistri seorang janda. Juga, semua istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dinikahi dalam keadaan janda, kecuali Aisyah rad..
3 Bahkan Al-Imam Ahmad rahimahullahu sampai memiliki beberapa riwayat dalam masalah ini, di antaranya:
Pertama: Yang boleh dilihat hanya wajah si wanita saja.
Kedua: Wajah dan dua telapak tangan. Sebagaimana pendapat ini juga dipegangi oleh Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah.
Ketiga: Boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasa tampak di depan mahramnya dan bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki, dan semisalnya. Tidak boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasanya tertutup seperti bagian dada, punggung, dan semisal keduanya.
Keempat: Seluruh tubuhnya boleh dilihat, selain dua kemaluannya. Dinukilkan pendapat ini dari Dawud Azh-Zhahiri.
Kelima: Boleh melihat seluruh tubuhnya tanpa pengecualian. Pendapat ini dipegangi pula oleh Ibnu Hazm dan dicondongi oleh Ibnu Baththal serta dinukilkan juga dari Dawud Azh-Zhahiri.
PERHATIAN: Tentang pendapat Dawud Azh-Zhahiri di atas, Al-Imam An-Nawawi berkata bahwa pendapat tersebut adalah suatu kesalahan yang nyata, yang menyelisihi prinsip Ahlus Sunnah. Ibnul Qaththan menyatakan: “Ada pun sau`atan (yakni qubul dan dubur) tidak perlu dikaji lagi bahwa keduanya tidak boleh dilihat. Apa yang disebutkan bahwa Dawud membolehkan melihat kemaluan, saya sendiri tidak pernah melihat pendapatnya secara langsung dalam buku murid-muridnya. Itu hanya sekedar nukilan dari Abu Hamid Al-Isfirayini. Dan telah saya kemukakan dalil-dalil yang melarang melihat aurat.”
Sulaiman At-Taimi berkata: “Bila engkau mengambil rukhshah (pendapat yang ringan) dari setiap orang alim, akan terkumpul pada dirimu seluruh kejelekan.”
Ibnu Abdilbarr berkata mengomentari ucapan Sulaiman At-Taimi di atas: “Ini adalah ijma’ (kesepakatan ulama), aku tidak mengetahui adanya perbedaan dalam hal ini.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 359)
Selain itu ada pula pendapat berikutnya yang bukan merupakan pendapat Al-Imam Ahmad:
Keenam: Boleh melihat wajah, dua telapak tangan dan dua telapak kaki si wanita, demikian pendapat Abu Hanifah dalam satu riwayat darinya.
Ketujuh: Boleh dilihat dari si wanita sampai ke tempat-tempat daging pada tubuhnya, demikian kata Al-Auza’i. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar hal. 392,393, Fiqhun Nazhar hal. 77,78)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu menyatakan bahwa riwayat yang ketiga lebih mendekati zahir hadits dan mencocoki apa yang dilakukan oleh para sahabat. (Ash-Shahihah, membahas hadits no. 99)
4 Bagi orang yang punya kelapangan tentunya, sehingga jangan dipahami bahwa walimah harus dengan memotong kambing. Setiap orang punya kemampuan yang berbeda. (Syarhus Sunnah 9/135)
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam walimah atas pernikahannya dengan Shafiyyah, yang terhidang hanyalah makanan yang terbuat dari tepung dicampur dengan minyak samin dan keju (HR. Al-Bukhari no. 5169).
Sehingga hal ini menunjukkan boleh walimah tanpa memotong sembelihan. Wallahu ‘alam bish-shawab.
Dikutip dari http://Asysyariah.com Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim, Judul: Proses Syar’i Sebuah Pernikahan