Minggu, 08 April 2012

Arti bulan-bulan Islam

Arti Bulan-Bulan Islam

Mungkin kita lebih hafal bulan-bulan masehi dari pada bulan-bulan islam/hijriyah. Bulan – bulan islam yang kita miliki sebenarnya memiliki arti-arti. Bulan-bulan itu bukan hanya sekedar nama. Berikut arti bulan-bulan tersebut:
1. Muharram adalah bulan pertama dalam bulan-bulan Islam. Dinamakan bulan muharram karena orang arab sebelum islam mengharamkan peperangan pada bulan itu.
2. Shafar adalah bulan yang kedua. Diberi nama seperti itu karena negeri-negeri arab menjadi kuning. Dalam arti negeri-negeri itu kosong dari penduduknya. Karena mereka keluar untuk perang dan mencari makanan dan berpergian menjauhi udara panas.
3. Rabi’ul Awwal. adalah bulan yang ketiga dari bulan islam yang berarti musim semi. Penamaan bulan ini terjadi pada musim semi. Oleh sebab itu dinamakan dengan “rabi’” yang berarti musim semi.
4. Rabi’ul Akhir. Diberi nama itu karena bulan ini masih dalam musim semi pada waktu itu. Tidak disebut rabi’ul tsani karena hal itu akan menimbulkan kesan bahwa bulan itu ada ketiga nya “ats-tsalits” padahal bulan rabi’ ada dua saja.
5. Jumadal Ula: diberi nama seperti itu karena bulan ini berada pada musim dingin pada waktu itu. Ketika Air menjadi beku.
6. Jumadal Akhirah. Diberinama seperti itu karena bulan itu ketika itu berada pada musim dingin juga. Tidak juga disebut jumada tsaniyah untuk menghilangkan dugaan adanya jumada tsalitsah ( jumada yang ketiga). Padahal jumada hanya ada dua.
7. Rajab. Diberinama seperti itu karena orang arab ketika itu mengagungkan bulan itu dengan meninggalkan peperangan. Dikatakan rajabasy-syai’a artinya mengagungkan sesuatu .
8. Sya’ban. Bulan yang kedelapan. Dinamakan sya’ban karena orang arab pada waktu itu berpencar untuk melakukan peperangan setelah mereka berdiam di bulan rajab.
9. Ramadhan adalah bulan yang kesembilan. Ramadhan diambil dari ramdha yaitu sangat panas. Ketika itu bukan ini sangat panas. Dari ramadhatil hijarah apabila batu menjadi panas karena matahari.
10. Syawwal bulan ke 10. Dinamakan syawwal karena waktu itu onta berkurang dan kering susunya. Ada juga arti yang kedua yaitu syawwal. Dari kata شول yang artinya mengangkatnya. Bulan syawwal adalah bulan peningkatan.
11. Zul Qa’dah: dinamakan seperti itu. Karena orang arab ketika itu berdiam dari berperang mereka menganggapnya sebagian dari bulan-bulan haram.
12. Zul Hijjah bulan ke 12. Karena orang arab mengenal haji pada bulan ini.
Bulan haram ada 4 : muharram, dzul qa’dah, dzul hijjah dan rajab. Didalam bulan-bulan ini diharamkan terjadinya pertumpahan darah.

Rukun Iman dan aplikasinya dalam kehidupan

Rukun iman dan aplikasinya dalam kehidupan

Pengertian iman:
Iman dalam bahasa arab adalah “attashdiiq” yang berarti membenarkan.
Secara Istilah Iman berarti: membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan melakukan dengan perbuatan..

1. Iman kepada Allah
Yaitu meyakini bahwa Allah itu ada.
Aplikasinya dalam kehidupan adalah:
1. Meyakini bahwa Allah selalu mengawasi dalam segala gerak-gerik kita
2. Meyakini bahwa Allah hanyalah tumpuan dan harapan kita.
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2)
2. Iman kepada malaikat
Yaitu meyakini bahwa malaikat adalah mahluk Allah yang diciptakan dari cahaya yang selalu ta’at dan tunduk kepadanya
Dalilnya adalah:
Attahrim ayat 6 yang artinya:
“Wahai orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu diatasnya ada para malaikat yang tidak bermaksiat kepada apa yang Allah perintahkan kepada mereka dan melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka”.
Juga dalam surah al-anbiya ayat 26-27:
“Dan mereka mengatakan yang Maha Penyayang telah menjadikan anak katakanlah akan tetapi hamba-hamba Allah yang dimuliakan. Mereka tidak mendahului Allah dengan perkataan dan dengan perintah Allah mereka melakukannya”.


Aplikasinya dalam kehidupan adalah:
1. Meyakini bahwa diantara malaikat-malaikat Allah ada yang selalu mengawasi kita.
2. Meniru sifat malaikat yaitu ketaatan mereka..

3. Iman kepada kitab-kitab Allah
Artinya adalah beriman, meyakini bahwa Allah telah menurunkan kitab-kitabnya yaitu: Taurat, Zabur, Injil, Al-qur’an dan hanya meyakini isi Al-qur’an..
Aplikasinya dalam kehidupan:
1. Memperbanyak membaca Al-Qur’an, memahaminya, merenungkannya dan mengamalkannya.
2. Meyakini bahwa al-qur’an adalah pedoman dalam kehidupan.
3. Al-Qur’an adalah media komunikasi antara hamba dan Tuhannya.

4. Iman kepada rasul-rasul Allah
Yaitu kita meyakini bahwa Allah telah mengutus rasul-rasul dan nabi-nabi-Nya yang menyampaikan risalah-Nya. Mereka yang wajib diketahui ada 25 nabi.
Aplikasinya dalam kehidupan:
1. Meneladani akhlak nabi karena nabi adalah suri tauladan bagi semua manusia
Allah berfirman:
Al-Ahzab ayat 21:
“Sungguh dalam jiwa rasulullah (S.A.W.) terdapat tauladan yang baik bagi orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir dan banyak mengingat Allah”.
Surah Yusuf ayat 111yang artinya:
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal”.
2. Para nabi adalah orang yang paling dekat kepada Allah dan adalah orang yang paling mulia.
3. Rasulullah Muhammad S.A.W. adalah orang terhebat di dunia sepanjang zaman..
Dalam waktu hanya 23 tahun beliau dapat merombak total jahiliyyah dan dalam waktu sesingkat itu Islam telah jaya dan berkuasa di dunia ini..

5. Iman kepada Hari Akhir
Yaitu meyakini bahwa hari akhir pasti akan datang..
Hari akhir juga sering disebut hari kiamat .
Kiamat terbagi menjadi 2 :
Kiamat kecil yaitu matinya seseorang secara perorangan dan manusia akan mengalami alam kubur.
Kiamat besar adalah hari akhir yang diawali dengan gempa kiamat yang dahsyat.
Aplikasinya dalam kehidupan:
1. Meningkatkan amalan untuk persiapan hari akhir.. Dalam surah 42 (Asy-Syura) ayat 20:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ
Yang artinya:
“Barang siapa yang menginginkan ladang di akhirat maka kami akan tambahkan baginya untuk ladangnya dan barang siapa yang menginginkan ladang dunia maka kami akan berikan bagiannya dan dia tidak akan memiliki bagiannya di akhirat “.
Surah al-isra ayat 14-15:
"Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu". Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah , maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul”.
2. Menjauhi segala perbuatan yang tidak Allah ridhai karena ia tahu segala perbuatannya akan di pertanggungjawabkan di hadapan Allah. Surah Al-Isra’ ayat 13:
“Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka”.


3. Menyadari bahwa kehidupan dunia ini sangatlah singkat dan hari akhir adalah kekal
Surah Ghafir (40) ayat 39:
يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ
“Wahai kaumku sesungguhnya kehidupan (dunia) ini adalah kenikmatan (sementara belaka) dan sesungguhnya hari akhir adalah tempat yang tetap (kekal)”.

6. Iman kepada Qadar
Beriman bahwa Allah mempunyai ketentuan yang tidak bisa ditolak oleh hambanya baik itu yang baik atau pun yang buruk..
Segala sesuatu adalah ketentuan Allah adalah taqdir.. selama nafas masih ada pada seorang manusia maka ia masih bisa merubahnya. Apabila ruh telah keluar dari dirinya maka itu lah takdirnya…
Aplikasinya dalam kehidupan:
1. tidak semua yang di inginkan manusia bisa tercapai…
2. Mempunyai sifat tawakkal dan tidak cepat berputus asa.. segala sesuatu yang ditentukan Allah mengandung hikmah bagi hambanya.. Al-Baqarah ayat 216..
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (216(
“Diwajibkan atas kalian berperang dan kalian membencinya.. boleh jadi kalian membenci sesuatu padahal sesuatu itu baik untuk kalian dan boleh jadi kalian menyukai sesuatu padahal sesuatu itu adalah buruk bagi kalian dan Allah mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui”.
3. Bersikap sabar atas segala sesuatu yang menimpanya..
At-taghabun ayat 11:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidaklah menimpa dari suatu musibah pun kecuali dengan izin Allah dan barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan tunjukkan hatinya dan Allah dengan segala sesuatu mengetahui”.

Pluralisme di Indonesia Perlu Dirawat

JAKARTA – Gerakan Peduli Pluralisme menyatakan perlunya merawat kemajemukan dalam bernegara untuk memperkuat ikatan nasionalisme Indonesia yang sangat plural. “Saat ini, pluralisme di tengah cobaan, banyaknya kejadian yang menjadi penghalang dalam kebersamaan, pluralisme perlu untuk kemudian dirawat,” kata salah seorang pemrakarsa Gerakan Peduli Pluralisme Damien Dematra di Jakarta, Rabu (4/8) sebagaimana diberitakan Antaranews.com.
Dalam diskusi memperingati hari lahir Mantan Presiden Abdurrahman Wahid ke-70, Damien mengatakan, tersisihnya pluralisme akan membuat Indonesia rawan terhadap berbagai tindak kekerasan yang akan memakan korban masyarakat dan juga perpecahan. Ia mengatakan, menguatnya fundamentalisme agama di berbagai belahan di dunia membuat nilai pluralisme juga terancam. “Tidak hanya aksi sepihak dari ormas Islam misalnya terhadap Ahmadiyah, tapi juga rencana aksi kelompok non denominasi Dove World Outreach Centre membakar Al Qur`an untuk memperingati tragedi 9 September WTC ini juga berbahaya dan memicu kembali fundamentalisme yang lebih luas,” katanya.
Tokoh muda NU Zuhairi Misrawi dalam diskusi tersebut menilai, di Indonesia kini memunculkan dua faksi yang saling bersitegang, yaitu mereka yang setuju dengan pluralisme dan mereka yang tidak setuju dengan pluralisme. Menurut dia, saat ini negara cenderung mendukung mereka yang anti pluralisme. “Hal ini menjadi kesulitan tersendiri, ketika negara berposisi mendukung aksi anti pluralisme,” katanya.
Selama ini negara tidak mampu bertindak secara tegas terhadap para kelompok anti pluralis yang melanggar hukum. “Negara seolah-olah membiarkannya, inikan berbahaya,” katanya.
Salah satu orang dekat `Gus Dur` yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut KH Nuril Ariffin menambahkan, negara yang tidak tegas terhadap perilaku kekerasan telah membuat aksi fundamentalisme merasa dibenarkan. “Ini negara-negara hukum, bagaimana aksi kekerasan oleh ormas dibenarkan, negara hukumnya dimana?,” katanya.
Sementara itu, Mantan Menteri Pertanian Bungaran Saragih yang hadir dalam diskusi itu mengaku memiliki pengalaman yang menarik terkait dengan pluralisme Indonesia di mata orang asing. Ia menceritakan, saat menjabat menteri pertanian dia pernah diminta oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur untuk menemani Presiden Jerman Johannes Rau. Dalam sebuah perbincangan, Presiden Rau ingin bertemu dengan para pemikir agama di Indonesia. Saat itu, menurut Bungaran, Gus Dur sendiri yang memimpin pertemuan tersebut. Setelah pertemuan tersebut, Presiden Rau sangat kagum dengan gagasan pluralisme di Indonesia. “No wonder”, Indonesia memang banyak masalah, tetapi masalah pluralisme ini jauh lebih maju dari Jerman, seharusnya kita belajar dari Anda,” demikian kata Bungaran menirukan Presiden Rau saat itu.
Menurut dia, pernyataan Presiden Rau tersebut bukti Indonesia telah menjadi contoh pluralisme bagi negara lain. “Untuk itu marilah kita rawat pluralisme, karena hal ini bukan saja sumbangan terhadap Inonesia, tetapi juga akan menjadi sumbangan terhadap dunia,” katanya. (Alejandro)

KETERPADUAN ANTARA NORMA AGAMA (ISLAM) DENGAN NORMA HUKUM

Pengantar
Pembahasan mengenai keterpaduan antara norma agama (islam) dengan norma hokum, akan dibatasi pada Hukum Islam dan Hukum Adat akan ditelaah sebagai bagian dari inter sub-sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yang dikaitkan dengan proses pengakuan hukum. Oleh karena itu perlu dijelaskan perihal antara hubungan hukum dengan system kemasyarakatan secara umum.
Suatu system kemasyarkatan (“societal-system”) mencakup sub-sistem sub-sistem sebagai unsurnya. sub-sistem sub-sistem itu adalah, sebagai berikut :
1) Sub-sistem fisik
2) Sub-sistem biologis
3) Sub-sistem politik
4) Sub-sistem ekonomi
5) Sub-sistem social
6) Sub-sistem budaya
7) Sub-sistem kesehatan
8) Sub-sistem pertahanan-keamanan
9) Sub-sistem hukum
Sub-sistem hukum lebih tepat disebut inter sub-sistem hukum oleh karena dalam batas-batas tertentu mengatur Sub-sistem lainnya atau bidang-bidang kehidupan lain dalam masyarakat.
Dengan bertitik tolak pada pandangan tersebut, maka hukum pada hakekatnya juga masayarakat (dan sebaliknya), hukum merupakan masyarakat dari sudut pandangan tertentu, oleh karena timbul dalam masyarakat dan mengatur masyrakat untuk mencapai kedamaian. Berdasarkan titik tolak itu, maka hubungan hukum adat dengan hukum Islam akan ditelaah dengan mempergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi hukum. Hal ini disebabkan oleh karena dengan mempergunakan pendekatan itu akan diperoleh suatu gambaran yang netral. Baik hukum adat maupun hukum Islam akan dilihat sebagai inter sub-sistem hukum yang sejajar kedudukannya dan sama peranannya bagi warga masyarakat yang menganutnya, sehingga akan tampak keterpaduannya.
Berdasarkan asumsi itu, maka akan dapat diidentifikasikan beberapa masalah yang mungkin terdapat pada proses pertemuan antara hukum adat dengan hukum Islam, tanpa prasangka. Yang paling penting adalah, apakah masing-masing bagian inter sub-sistem hukum itu benar-benar memenuhi rasa keadilan masyarakat dan warga-warganya.
Suatu catatan lain yang perlu dikemukakan sebelum mengawali analisis hubungan hukum adat dengan hukum Islam adalah, bahwa pembahasan nantinya juga akan mempergunakan bidang-bidang tata hukum yang dikenal. Disamping itu akan diterapkan juga beberapa konsep yang berasal dari ilmu kaidah dan ilmu pengertian yang merupakan dogmatic hukum.
Hukum sebagai lembaga social
Dalam setiap masyarakat senantiasa terdapat kepantingan-kepentingan yang harus dipenuhi, melalui cara-cara kaidah-kaidah tertentu, agar supaya tidak terjadi perbenturan kepentingan. Kaidah-kaidah yang mengatur pemenuhan kepentingan-kepentingan itu, biasanya terhipun dalam satu atau beberapa lembaga social, sesuai dengan bidang-bidang kehidupan yang ada. Dengan demikian, maka suatu lembaga social merupakan himpunan kaidah-kaidah dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kepentingan pokok dalam masyarakat. Kepentingan tersebut mungkin berada pada bidang kehiudpan fisik, biologi, politik, ekonomi, social, budaya, kesehatan, pertahanan, dan hukum.
Lembaga social itu pada dasarnya mempunyai beberapa fungsi tertentu, misalnya :
1) Memberikan pedoman atau pegangan kepada warga-warga masyarakat, bagaimana mereka seharusnya bertindak dalam memenuhi kepentingan-kepentingan dalam bidang-bidang kehidupan yang ada.
2) Menjaga keutuhan atau intergitas masyarakat.
3) Memberikan pegangan untuk mengadakan system pengendalian social (“Social-control”) dan pengelolaan social (“Social-engineering”).
Agar menjadi suatu lembaga social, maka kaidah-kaidah yang mengatur pemenuhan kepentingan di bidang-bidang kehiudpan tertentu. Proses-proses tersebut adalah sebagai berikut :
1) Proses pelembagaan (“Institutionaization”), yaitu bahwa suatu kaidah atau perangkat kaidah-kaidah dikenal, diakui, ditaati, dan dihargai dalam kehiudpan sehari-hari.
2) Proses pembudayaan (“internalization”), yakni suatu kaidah atau perangkat kaidah yang sudah melembaga, selanjutnya mendarah-daging dalam jiwa raga masyarakat.
Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa suatu lembaga social mempunyai ciri-ciri pokok tertentu. Ciri-ciri pokok itu adalah, sebagai beikut :
1. Lembaga social merupakan suatu organisasi pola berfikir dan pola sikap tindak yang terwujud melalui aktivitas warga masyarakat dan hasil-hasilnya.
2. Suatu tingkat kekekalan tertentu merupakan suatu cirri penting.
3. Adanya satu atau beberapa tujuan.
4. Adanya sarana untuk mencapai tujuan.
5. Terdapat lambang-lambang tertentu.
6. Mempunyai tradisi.
Hukum dari sudut pandang sosiologis mempunyai ciri-ciri tersebut, sehingga merupakan suatu lembaga social. Sebagai suatu lembaga social hukum mencakup unsur-unsur, sebagai berikut (6, J, M. Schuyt 1983 ; 12, dan seterusnya) :
1) Unsur ideal yang menacakup nilai-nilai, azas-azas dan kaidah-kaidah.
2) Unsur operasional yang terdiri dari organsasi-organsasi dan lembaga-lembaga.
3) Unsur actual yang mencakup sikap-tindak dan keputusan-keputusan.
Baik hukum adat maupun hukum Islam, merupakan lemabaga social kalau dilihat dari sudut pendekatan sosiologi hokum. Salah satu perbedaanya adalah, benda sumber hukum adat adalah masyarakat. Sedangkan hukum Islam adalah ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Aka tetapi hal ini tidak dengan sendirinya berarti adanya pertentangan karena pebedaan sumber itu. Untuk menjelaskan hal itu, akan disajikan berbagai konsep dalam interaksi social terutama konsep akomodasi yang merupakan salah satu bentuk interaksi social asosiatir.
Konsep akomodasi dalam interaksi social
Sebagai lembaga social, maka hukum adat dan hokum Islam akan berinteraksi, proses mana didukung oleh penganut-penganutnya yang merupakan manusia pribadi dan kelompok-kelompok social konsep akomodasi yang merupakan abstraksi pemikiran dan empiri lazimnya dipergunakan dalam dua arti. Pertama-tama akomodasi dipergunakan untuk menunjuk pada suatu keadaan terdapatnya keserasian antar pribadi atau kelompok social, yang berkaitan dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang dianut oleh pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok social itu dalam masyarakat. Disamping itu, maka akomodasi dipergunakan dalam pengertian yang menunjuk pada usaha-usaha manusia pribadi atau kelompok social untuk meredakan suatu pertentangan, yakni kegiatan untuk mencapai taraf kestabilan tertentu.
Tujuan utama akomodasi adalah, sebagai berikut (Soerjono Soekanto 1986 : 64) :
1) Mengurangi atau menetralisasi pertentangan yang ada antara pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok social, sebagai akibat terjadinya perbedaan faham dalam hal ini akomodasi bertujuan untuk menghasilkan suatu sintesa, agar terjadi suatu pola yang baru.
2) Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu.
3) Memungkinkan terjadinya kerja samaantara kelompok-kelompok social, yang sebagai akibat factor-faktor social psikologis dan antropologis saling terpisah.
4) Mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok social yang terpisah.
Sebagai suatu proses, maka akomodasi mempunyai berbagai bentuk, yaitu (Soerjono Soekanto 1986 : 65. 66) :
1) “Curcion”, yakni bentuk akomodasi dimana salah satu pihak lebih kuat dari pada pihak lain (lawan). Dalam hal ini keserasian dipaksakan oleh pihak yang lebih kuat, baik secara fisik maupun secara psikologis.
2) “Compromise”, yakni bentuk akomodasi dimana para pihak yang terlibat dalam pertentangan masing-masing mengurangi tuntutannya agar tercapai penyelesaian. Artinya, salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan memahami keadaan pihak lain, dan sebaliknya.
3) “Artibitration” yang merupakan suatu cara untuk mencapai komporomi dengan perantaraan pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak yang bertentangan.
4) “Mediation” yang hapir sama dengan arbitrasi; perbedaannya adalah bahwa pihak ketiga yang dianggap netral diundang sebagai penasehat belaka.
5) “Conciliation” yang merupaka usaha untuk mempertemukan keinginan-keinginan pihak-pihak yang berselisih, agar tercapai persetujuan bersama.
6) “Toleration” yang merupakan bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal kadang-kadang hal itu timbul tanpa direncanakan, oleh karena masing-masing pihak secara psikologis mempunyai watak untuk sedapat mungkin menetralisasi perselisihan yang nyata maupun yang potensial sifatnya.
7) “Stalemate” yang merupakan suatu proses akomodasi, dimana masing-masing pihak berhenti pada suatu titik, oleh karena mempunyai kekuatan yang sama.
8) “Adjudication”, yakni penyelesaian sengketa di badan peradilan resmi.

sumber norma dan hukum dalam islam

A. Alqur’an
Alqur’an adalah sumber ajaran Islam yang pertama, memuat kumpulan wahyu-wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. Di antara kandungan isinya ialah peraturan-peraturan hidup untuk mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah, hubunannya dengan perkembangan dirinya, hubungannya dengan sesama manusia, dan hubungannya dengan alam beserta makhluk lainnya. Alqur’an kitab suci yang berisi wahyu Ilahi menjadi pedoman hidup yang tidak ada keragu-raguan di dalamnya. Selain itu, Al’quran menjadi petunjuk yang dapat menciptakan manusia untuk menjadi bertaqwa kepada Allah Swt. Karena itu, Al’quran banyak mengemukakan prinsip-prinsip umum yang mengatur kehidupan manusia dalam beribadah kepada Allah swt. Meskipun kegiatan muamalah terjadi secara interaktif antara sesama makhluk, termasuk alam semesta; namun hendaknya diperhatikan oleh manusia bahwa semua kegiatan itu berada dalam kegiatan beribadah kepada Allah swt. Dengan demikian, semua perbuatan manusia adalah ibadah kepada Allah sehingga tidak boleh bertentangan dengan hukum Allah swt, dan ditujukan untuk mencapai keridhaan-Nya.
Al’quran sebagai kitab suci yang berisi petunjuk memuat 6.236 ayat. Jumlah itu hanya 5,8 persen dari seluruh ayat Al’quran yang mempunyai perincian. Hal itu diungkapkan karakteristik ayat-ayat sebagai berikut.

1) Ibadat shalat, puasa, haji, zakat, dan lain-lain 140 ayat.
2) Hidup kekeluargaan, perkawinan, perceraian, hak waris, dan sebagainya 70 ayat.
3) Perdagangan/perekonomian, jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, gadai, perseroan, kontrak, dan sebagainya 70 ayat.
4) Persoalan kriminologi 30 ayat.
5) Hubungan Islam dengan non Islam 25 ayat.
6) Persoalan kehakiman/pengadilan 13 ayat.
7) Hubungan si kaya dan si miskin 10 ayat.
8) Persoalan kenegaraan 10 ayat.
Jumlah ayat-ayat Alqur’an yang mempunyai perincian secara keseluruhan adalah 368 ayat. Dari jumlah 368 ayat tersebut, hanya 228 ayat yang merupakan urusan soal hidup kemasyarakatan umat (Harun Nasution, 1978: 9).
Dari perincian di atas menunjukan bahwa ayat-ayat yang mengatur soal hidup kekeluargaan dan kehidupan mempunyai jumlah besar. Angka mengenai hidup kekeluargaan ini besar karena keluargalah yang merupakan unit kemasyarakatan terkecil dalam tiap-tiap masyarakat. Dari keluarga-keluarga yang baik, makmur dan bahagia tercipta masyarakat yang baik, makmur dan bahagia. Keluarga-keluarga yang tidak kuat ikatannya, tidak akan dapat membentuk masyarakat yang baik. Karena itu, keteguhan ikatan kekeluargaan perlu dipelihara dan disinilah terletak salah satu sebabnya maka ayat-ayat ahkam mementingkan soal hidup kekeluargaan. Dalam hubungan ini perlu diketahui bahwa tujuan ibadat dalam Islam ialah membentuk individu-individu baik dan berbudi pekerti luhur. Dan dari individu-individu yang tidak mempunyai budi pekerti luhur tidak akan dapat terwujud keluarga yang baik.
Selain itu, perlu diungkapkan bahwa ayat-ayat ahkam mengenai hidup kemasyarakatan itu, selain kecil jumlah keseluruhannya, bersifat umum, dalam pengertian hanya memberikan garis-garis besarnya tanpa perincian. Ini berlainan halnya dengan ayat-ayat ahkam mengenai ibadat. Wahyu dalam hal ini lebih tegas dan terperinci. Masyarakat bersifat dinamis mengalami perubahan dari zaman ke zaman, dan kalau diatur dengan hukum-hukum yang berjumlah besar lagi terperinci akan menjadi terikatdan tak dapat berkembang sesuai dengan peredaran zaman. Di sini pula terletak hikmahnya maka ayat-ayat ahkam mengenai kemasyarakatan berjumlah kecil dan hanya membawa pedoman-pedoman dasar tanpa perincian. Karena itu, hanya dasar-dasar inilah yang perlu dan wajib dipegang dalam mengatur hidup kemasyarakatan umat di segala tempat dan zaman. Dengan kata lain dasar-dasar itulah yang tak dapat diubah oleh manusia, sedang interpretasi, perincian dan pelaksanaannya, itu berubah menurut tuntutan zaman. Di sekitar interpretasi dasar-dasar inilah hukum dalam Islam berkembang.
B. Sunnah
1. Pengertian Sunnah
Sunnah dalam bahasa Arab berarti tradisi, kebiasaan, adat-istiadat. Dalam terminologi Islam sunnah berarti perbuatan, perkataan, dan keizinan Nabi Muhammad saw. Pengertian sunnah tersebut sama dengan pengertian al-hadits. Al-hadits dalam bahasa Arab berarti berita atau kabar. Namun demikian, ada yang membedakan pengertian sunnah dengan hadits. Sunnah adalah perbuatan, perkataan, dan perizinan Nabi Muhammad saw yang asli, sedang hadis adalah catatan tentang perbuatan, perbuatan, dan perizinan Nabi Muhammad saw yang sampai pada saat ini. Karena itu, keduanya menjadi sumber hukum dan sumber pedoman hidup. Sebab, ada hadis yang maqbul (diterima) dan hadis yang mardud (tidak dapat diterima). Namun demikian hendaknya diakui bahwa terminologi ilmu dalam Islam antara hadis dan sunnah sudah dianggap identik.
2. Macam-Macam Sunnah
Sunnah atau hadis dapat dibagi ke dalam beberapa macam :
a)Ditinjau dari segi bentuknya terbagi kepada :
1. Fi’li, yaitu perbuatan Nabi.
2. Qauli, yaitu perkataan Nabi
3. Taqriri, yaitu perizinan Nabi, yang artinya perilaku sahabat yang disaksikan oleh Nabi tetapi Nabi tidak menegurnya/melarangnya.
b) Ditinjau dari segi jumlah orang yang menyampaikannya terbagi atas :
1. Mutawatir, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut akal tidak mungkin mereka bersepakat dusta serta melalui jalan indera.
2. Masyhur, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak tetapi tidak sampai kepada derajat mutawatir, baik karena jumlahnya maupun karena tidak jalan indera.
3. Ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih yang tidak sampai pada tingkat masyhur dan mutawatir.
c)Ditinjau dari segi kualitas hadis, terbagi atas :
1. Shahih, yaitu hadis yang sehat, yang diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya dan kuat hafalannya, materinya baik dan persambungan sanadnya dapat dipertanggung jawabkan.
2. Hasan, yaitu hadis yang memenuhi persyaratan hadis shahih kecuali di segi hafalan pembawanya yang kurang baik.
3. Dha’if, yaitu hadis lemah, baik karena terputus salah satu sanadnya atau karena salah seorang pembawanya kurang baik.
4. Maudhu, yaitu hadis palsu, hadis yang dibikin oleh seseorang dan dikatakan sebagai sabda atau perbuatan Rasul.
d) Ditinjau dari segi diteima atau tidaknya terbagi atas :
1. Maqbul, yaitu hadis yang diterima.
2. Mardud, yaitu hadis yang mesti ditolak.
e)Ditinjau dari segi orang yang berbuat atau berkata terbagi atas :
1. Marfu’, yaitu betul-betul Nabi yang pernah bersabda, berbuat, dan memberi izin.
2. Mauquf, yaitu sahabat Nabi yang berbuat dan Nabi tidak menyaksikan perbuatan sahabat.
3. Maqtu’, yaitu tabi’in yang berbuat. Artinya perkataan tabi’in yang berhubungan soal-soal keagamaan.
f) Pembagian lain yang disesuaikan jenis, sifat, redaksi, teknis penyampaian dan lain-lain, seperti :
Hadis yang banyak menggunakan kata an (dari) menjadi hadis mu’an’an. Hadis yang banyak menggunakan kata anna (sesungguhnya) menjadi hadis muanna. Hadis yang menyangkut perintah disebut hadis awamir. Hadis yang menyangkut larangan disebut hadis nawahi. Hadis yang sanad (sandarannya) terputus disebut hadis munqathi’.
C. Ra’yu
Ra’yu adalah penggunaan akal (penalaran) manusia dalam menginterpretasi ayat-ayat Alqur’an dan sunnah yang bersifat umum karena memerlukan penalaran manusia. Ra’yu adalah bahasa Arab. Akar katanya adalah ra’a yang berarti melihat. Karena itu, ra’yu berarti penglihatan. Namun demikian yang dimaksud penglihatan di sini adalah penglihatan akal, bukan penglihatan mata, meskipun penglihatan mata seringkali sebagai alat bantu terbentuknya penlihatan akal, sebagaimana halnya pendengaran, perabaan, perasaan, dan lain sebagainya.
Ra’yu terbentuk sebagai hasil suatu proses yang terjadi pada otak manusia setelah terlebih dahulu memperoleh masukan. Masukan-masukan dimaksud dapat terjadi pada saat sebelum dan sesudah terjadi proses pemikiran dimaksud. Karena itu sering terjadi bahwa hasil proses pemikiran ini sangat tergantung kepada jumlah masukan yang dimiliki oleh seseorang, makin kaya masukan tersebut makin kaya dalam proses pemikirannya. Proses pemikiran ini amat tergantung kepada masukan atau proses asosiasi, menganalisis dan membuat sintesa yang akan melahirakan suatu kesimpulan. Proses itu disebut ijtihad. Hasil dari proses ijtihad yang disebut sumber hukum Islam yang ketiga.
Ijtihad pada saat ini lebih penting bila dibandingkan di masa Nabi Muhammad saw, meskipun pada masa pada masa itu ijtihad sudah dilakukan oleh Mu’az bin Jabal, yaitu ketika diangkat menjadi gubernur di Yaman. Setelah Nabi Muhammad wafat, ijtihad makin berkembang, bahkan Abubakar sendiri mengingatkan kaumnya agar dikritik bila melakukan ijtihad yang salah, yang diucapkan pada pidato pertama ketika diangkat menjadi khalifah.
Bila mengamati fenomena masalah keagamaan saat ini, maka kita temukan bahwa banyak permasalahan yang belum diatur oleh Alqur’an dan hadis. Karena banyaknya permasalahan dimaksud sehingga ayat-ayat Alqur’an sering kita temukan memerintahkan kepada manusia untuk menggunakan akal pikirannya. Bukan hanya demikian, tetapi merupakan proses alamiah bahwa manusia akan berpikir dan menggunakan pikirannya semaksimal mungkin.
Selain ijtihad tersebut, qiyas (analogi) merupakan salah satu teeknik berpikir. Karena itu bila seseorang membenarkan adanya ijtihad maka benar pula adanya qiyas. Meskipun kebenaran yang dimaksud, mempunyai syarat orang yang berhak berijtihad dalam masalah keagamaan. Ijtihad baru bisa dilakukan bila tidak ada ayat Alqur’an dan hadis yang jelas mengenai sesuatu masalah sosial kemasyarakatan atau masalah-masalah lainnya. Hal-hal yang demikian itulah menjadi fokus kajian ijtihad , sehingga biasa disebut sumber dinamika ajaran Islam.

sumber norma dan hukum didalam islam

A. Alqur’an
Alqur’an adalah sumber ajaran Islam yang pertama, memuat kumpulan wahyu-wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. Di antara kandungan isinya ialah peraturan-peraturan hidup untuk mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah, hubunannya dengan perkembangan dirinya, hubungannya dengan sesama manusia, dan hubungannya dengan alam beserta makhluk lainnya. Alqur’an kitab suci yang berisi wahyu Ilahi menjadi pedoman hidup yang tidak ada keragu-raguan di dalamnya. Selain itu, Al’quran menjadi petunjuk yang dapat menciptakan manusia untuk menjadi bertaqwa kepada Allah Swt. Karena itu, Al’quran banyak mengemukakan prinsip-prinsip umum yang mengatur kehidupan manusia dalam beribadah kepada Allah swt. Meskipun kegiatan muamalah terjadi secara interaktif antara sesama makhluk, termasuk alam semesta; namun hendaknya diperhatikan oleh manusia bahwa semua kegiatan itu berada dalam kegiatan beribadah kepada Allah swt. Dengan demikian, semua perbuatan manusia adalah ibadah kepada Allah sehingga tidak boleh bertentangan dengan hukum Allah swt, dan ditujukan untuk mencapai keridhaan-Nya.
Al’quran sebagai kitab suci yang berisi petunjuk memuat 6.236 ayat. Jumlah itu hanya 5,8 persen dari seluruh ayat Al’quran yang mempunyai perincian. Hal itu diungkapkan karakteristik ayat-ayat sebagai berikut.

1) Ibadat shalat, puasa, haji, zakat, dan lain-lain 140 ayat.
2) Hidup kekeluargaan, perkawinan, perceraian, hak waris, dan sebagainya 70 ayat.
3) Perdagangan/perekonomian, jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, gadai, perseroan, kontrak, dan sebagainya 70 ayat.
4) Persoalan kriminologi 30 ayat.
5) Hubungan Islam dengan non Islam 25 ayat.
6) Persoalan kehakiman/pengadilan 13 ayat.
7) Hubungan si kaya dan si miskin 10 ayat.
8) Persoalan kenegaraan 10 ayat.
Jumlah ayat-ayat Alqur’an yang mempunyai perincian secara keseluruhan adalah 368 ayat. Dari jumlah 368 ayat tersebut, hanya 228 ayat yang merupakan urusan soal hidup kemasyarakatan umat (Harun Nasution, 1978: 9).
Dari perincian di atas menunjukan bahwa ayat-ayat yang mengatur soal hidup kekeluargaan dan kehidupan mempunyai jumlah besar. Angka mengenai hidup kekeluargaan ini besar karena keluargalah yang merupakan unit kemasyarakatan terkecil dalam tiap-tiap masyarakat. Dari keluarga-keluarga yang baik, makmur dan bahagia tercipta masyarakat yang baik, makmur dan bahagia. Keluarga-keluarga yang tidak kuat ikatannya, tidak akan dapat membentuk masyarakat yang baik. Karena itu, keteguhan ikatan kekeluargaan perlu dipelihara dan disinilah terletak salah satu sebabnya maka ayat-ayat ahkam mementingkan soal hidup kekeluargaan. Dalam hubungan ini perlu diketahui bahwa tujuan ibadat dalam Islam ialah membentuk individu-individu baik dan berbudi pekerti luhur. Dan dari individu-individu yang tidak mempunyai budi pekerti luhur tidak akan dapat terwujud keluarga yang baik.
Selain itu, perlu diungkapkan bahwa ayat-ayat ahkam mengenai hidup kemasyarakatan itu, selain kecil jumlah keseluruhannya, bersifat umum, dalam pengertian hanya memberikan garis-garis besarnya tanpa perincian. Ini berlainan halnya dengan ayat-ayat ahkam mengenai ibadat. Wahyu dalam hal ini lebih tegas dan terperinci. Masyarakat bersifat dinamis mengalami perubahan dari zaman ke zaman, dan kalau diatur dengan hukum-hukum yang berjumlah besar lagi terperinci akan menjadi terikatdan tak dapat berkembang sesuai dengan peredaran zaman. Di sini pula terletak hikmahnya maka ayat-ayat ahkam mengenai kemasyarakatan berjumlah kecil dan hanya membawa pedoman-pedoman dasar tanpa perincian. Karena itu, hanya dasar-dasar inilah yang perlu dan wajib dipegang dalam mengatur hidup kemasyarakatan umat di segala tempat dan zaman. Dengan kata lain dasar-dasar itulah yang tak dapat diubah oleh manusia, sedang interpretasi, perincian dan pelaksanaannya, itu berubah menurut tuntutan zaman. Di sekitar interpretasi dasar-dasar inilah hukum dalam Islam berkembang.
B. Sunnah
1. Pengertian Sunnah
Sunnah dalam bahasa Arab berarti tradisi, kebiasaan, adat-istiadat. Dalam terminologi Islam sunnah berarti perbuatan, perkataan, dan keizinan Nabi Muhammad saw. Pengertian sunnah tersebut sama dengan pengertian al-hadits. Al-hadits dalam bahasa Arab berarti berita atau kabar. Namun demikian, ada yang membedakan pengertian sunnah dengan hadits. Sunnah adalah perbuatan, perkataan, dan perizinan Nabi Muhammad saw yang asli, sedang hadis adalah catatan tentang perbuatan, perbuatan, dan perizinan Nabi Muhammad saw yang sampai pada saat ini. Karena itu, keduanya menjadi sumber hukum dan sumber pedoman hidup. Sebab, ada hadis yang maqbul (diterima) dan hadis yang mardud (tidak dapat diterima). Namun demikian hendaknya diakui bahwa terminologi ilmu dalam Islam antara hadis dan sunnah sudah dianggap identik.
2. Macam-Macam Sunnah
Sunnah atau hadis dapat dibagi ke dalam beberapa macam :
a)Ditinjau dari segi bentuknya terbagi kepada :
1. Fi’li, yaitu perbuatan Nabi.
2. Qauli, yaitu perkataan Nabi
3. Taqriri, yaitu perizinan Nabi, yang artinya perilaku sahabat yang disaksikan oleh Nabi tetapi Nabi tidak menegurnya/melarangnya.
b) Ditinjau dari segi jumlah orang yang menyampaikannya terbagi atas :
1. Mutawatir, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut akal tidak mungkin mereka bersepakat dusta serta melalui jalan indera.
2. Masyhur, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak tetapi tidak sampai kepada derajat mutawatir, baik karena jumlahnya maupun karena tidak jalan indera.
3. Ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih yang tidak sampai pada tingkat masyhur dan mutawatir.
c)Ditinjau dari segi kualitas hadis, terbagi atas :
1. Shahih, yaitu hadis yang sehat, yang diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya dan kuat hafalannya, materinya baik dan persambungan sanadnya dapat dipertanggung jawabkan.
2. Hasan, yaitu hadis yang memenuhi persyaratan hadis shahih kecuali di segi hafalan pembawanya yang kurang baik.
3. Dha’if, yaitu hadis lemah, baik karena terputus salah satu sanadnya atau karena salah seorang pembawanya kurang baik.
4. Maudhu, yaitu hadis palsu, hadis yang dibikin oleh seseorang dan dikatakan sebagai sabda atau perbuatan Rasul.
d) Ditinjau dari segi diteima atau tidaknya terbagi atas :
1. Maqbul, yaitu hadis yang diterima.
2. Mardud, yaitu hadis yang mesti ditolak.
e)Ditinjau dari segi orang yang berbuat atau berkata terbagi atas :
1. Marfu’, yaitu betul-betul Nabi yang pernah bersabda, berbuat, dan memberi izin.
2. Mauquf, yaitu sahabat Nabi yang berbuat dan Nabi tidak menyaksikan perbuatan sahabat.
3. Maqtu’, yaitu tabi’in yang berbuat. Artinya perkataan tabi’in yang berhubungan soal-soal keagamaan.
f) Pembagian lain yang disesuaikan jenis, sifat, redaksi, teknis penyampaian dan lain-lain, seperti :
Hadis yang banyak menggunakan kata an (dari) menjadi hadis mu’an’an. Hadis yang banyak menggunakan kata anna (sesungguhnya) menjadi hadis muanna. Hadis yang menyangkut perintah disebut hadis awamir. Hadis yang menyangkut larangan disebut hadis nawahi. Hadis yang sanad (sandarannya) terputus disebut hadis munqathi’.
C. Ra’yu
Ra’yu adalah penggunaan akal (penalaran) manusia dalam menginterpretasi ayat-ayat Alqur’an dan sunnah yang bersifat umum karena memerlukan penalaran manusia. Ra’yu adalah bahasa Arab. Akar katanya adalah ra’a yang berarti melihat. Karena itu, ra’yu berarti penglihatan. Namun demikian yang dimaksud penglihatan di sini adalah penglihatan akal, bukan penglihatan mata, meskipun penglihatan mata seringkali sebagai alat bantu terbentuknya penlihatan akal, sebagaimana halnya pendengaran, perabaan, perasaan, dan lain sebagainya.
Ra’yu terbentuk sebagai hasil suatu proses yang terjadi pada otak manusia setelah terlebih dahulu memperoleh masukan. Masukan-masukan dimaksud dapat terjadi pada saat sebelum dan sesudah terjadi proses pemikiran dimaksud. Karena itu sering terjadi bahwa hasil proses pemikiran ini sangat tergantung kepada jumlah masukan yang dimiliki oleh seseorang, makin kaya masukan tersebut makin kaya dalam proses pemikirannya. Proses pemikiran ini amat tergantung kepada masukan atau proses asosiasi, menganalisis dan membuat sintesa yang akan melahirakan suatu kesimpulan. Proses itu disebut ijtihad. Hasil dari proses ijtihad yang disebut sumber hukum Islam yang ketiga.
Ijtihad pada saat ini lebih penting bila dibandingkan di masa Nabi Muhammad saw, meskipun pada masa pada masa itu ijtihad sudah dilakukan oleh Mu’az bin Jabal, yaitu ketika diangkat menjadi gubernur di Yaman. Setelah Nabi Muhammad wafat, ijtihad makin berkembang, bahkan Abubakar sendiri mengingatkan kaumnya agar dikritik bila melakukan ijtihad yang salah, yang diucapkan pada pidato pertama ketika diangkat menjadi khalifah.
Bila mengamati fenomena masalah keagamaan saat ini, maka kita temukan bahwa banyak permasalahan yang belum diatur oleh Alqur’an dan hadis. Karena banyaknya permasalahan dimaksud sehingga ayat-ayat Alqur’an sering kita temukan memerintahkan kepada manusia untuk menggunakan akal pikirannya. Bukan hanya demikian, tetapi merupakan proses alamiah bahwa manusia akan berpikir dan menggunakan pikirannya semaksimal mungkin.
Selain ijtihad tersebut, qiyas (analogi) merupakan salah satu teeknik berpikir. Karena itu bila seseorang membenarkan adanya ijtihad maka benar pula adanya qiyas. Meskipun kebenaran yang dimaksud, mempunyai syarat orang yang berhak berijtihad dalam masalah keagamaan. Ijtihad baru bisa dilakukan bila tidak ada ayat Alqur’an dan hadis yang jelas mengenai sesuatu masalah sosial kemasyarakatan atau masalah-masalah lainnya. Hal-hal yang demikian itulah menjadi fokus kajian ijtihad , sehingga biasa disebut sumber dinamika ajaran Islam.

Islam, Budaya, Tradisi dan Norma

Islam, Budaya, Tradisi dan Norma:
Budaya: dalam kamus besar bahasa Indonesia budaya diterjemahkan dengan: hasil pikiran, akal budi.
Sedangkan tradisi: adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) dan masih dijalankan di masyarakat.
Perbedaan antara budaya dan tradisi:
Budaya adalah ciri umum dari suatu bangsa.
Budaya lebih umum dan universal.
Tradisi adalah ciri khusus dari suatu komunitas yang lebih kecil.
Tradisi lebih bersifat ritual dan sakral.
Sikap Islam terhadap budaya dan tradisi::
Islam adalah filter bagi seluruh budaya dan tradisi..
Budaya-budaya dan tradisi yang bertentangan dengan Islam haruslah ditinggalkan jauh-jauh..
Budaya berhala pada zaman jahiliyyah sebelum rasulullah S.A.W. telah rasulullah musnahkan ketika beliau menyebarkan islam. Rasulullah S.A.W. telah mengangkat akar kemusyrikan sehingga tidak tersisa sedikit pun berhala di jazirah arab.
Ini sangat berkaitan dengan keadaan Indonesia sebelum datangnya Islam. Masyarakat Indonesia terlebih masyarakat jawa adalah masyarakat hindu. Ketika Islam datang ke negeri Indonesia akar syirik belumlah hilang sepenuhnya. Oleh sebab itu wajib bagi kita untuk menghilangkan akar syirik sehingga orang muslim Indonesia bisa bertauhid dan meninggalkan segala bentuk syirik..
Syirik adalah dosa yang tidak bisa diampuni. Apabila seseorang mati dalam keadaaan syirik maka ia tidak akan diampuni..



Allah berfirman An-Nisa ayat 116:
إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن بشاء ومن يشرك بالله فقد ضل ضلالا بعيدا
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa menyekutukan-Nya dan mengampuni yang selainnya bagi orang yang dikehendaki-Nya dan barang siapa yang menyekutukan Allah maka sungguh ia telah sesat (dalam) kesesatan yang jauh”.
Dalam ayat yang lain An-Nisa ayat 48:
إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء ومن يشرك بالله فقدافترى إثما عظيما
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa menyekutukan-Nya dan mengampuni yang selainnya bagi orang yang dikehendaki-Nya dan barang siapa yang menyekutukan Allah maka sungguh ia telah melakukan dosa yang besar”.

Contoh dari budaya syirik di Indonesia:
Memberikan sesajen kepada benda tertentu. Memelihara keris dan memandikannya. Meyakini kekuatan pada benda-benda tertentu seperti cincin atau gelang. Menggunakan jimat. Melakukan ritual-ritual tertentu yang diyakini dapat mencegah dari bala dan malapetaka. Melakukan sembelihan untuk selain Allah yang dimaksudkan untuk mendatangkan keberuntungan atau menolak mala petaka.
Bukti nyata masih melekatnya budaya hindu di masyarakat Indonesia adalah banyaknya candi-candi di negeri kita.. walaupun sebagian orang mengatakan itu tidak disembah atau hanya di lihat saja namun itu adalah bukti masih kuatnya budaya hindu di bumi pertiwi ini.
Kita mengenal 7 hari-an atau 40 hari-an atau 100 hari-an bagi orang yang wafat yang sebenarnya bukan sama sekali dari Islam. Hal itu adalah tradisi orang hindu dahulu yang mereka lakukan untuk para orang yang telah wafat.
Oleh sebab itu kita sebagai orang muslim yang telah mempelajari tauhid seharusnya bisa mengubah tradisi-tradisi dan budaya-budaya yang jelas-jelas menyimpang dari akidah Islam.
Budaya non syirik namun bertentangan dengan ajaran Islam:
1. Budaya korupsi yang melanda bumi pertiwi yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam.
2. Budaya kebebasan tanpa menghiraukan etika Islam. Seperti dalam pergaulan, berpakaian dan berinteraksi dengan orang tua dan masyarakat.

Tradisi-tradisi pernikahan di Indonesia:
1. menginjak dan memecahkan telur… hal ini jika tidak diyakini mempunyai kekuatan tertentu atau mendatangkan kebaikan atau menangkal malapetaka maka tidak dianggap syirik.
2. puasa mutih. Jelas tidak ada tuntunannya dari rasulullah S.A.W. dan bisa di kategorikan sebagai bid’ah (hal yang baru dalam beragama).

Norma
Dalam kamus besar bahasa Indonesia:
Aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok di masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan dan kendalian tingkah laku yang sesuai dan berterima”
Norma dengan definisi ini mengacu kepada etika di suatu komunitas.
Norma berbeda dengan hukum. Kalau hukum mengikat dan ada sanksi bagi yang melanggarnya. Sedangkan pelanggaran terhadap pada norma hanya pengaruh pada pandangan masyarakat terhadap palanggarnya.

Budaya, tradisi dan norma bisa diterima oleh islam apabila:
1. Tidak mengandung unsur syirik.
2. Tidak bertentangan dengan akidah dan syari’at Islam.
3. Bukan ciri dari agama-agama selain Islam. Maksudnya adalah apabila suatu tradisi misalnya menjadi ciri khusus dari suatu agama seperti tradisi kemenyan yang bisa dikatakan tradisi hindu yang menjadi ciri khusus bagi agama tersebut maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk meniru tradisi tersebut..
Rasulullah S.A.W. bersabda:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
Dari Ibnu Umar dari Nabi S.A.W. beliau bersabda:
Berbedalah kalian dengan orang musyrik dan banyakanlah jenggot dan bersihkanlah kumis..
Rasulullah menyuruh kaum muslimin agar berbeda dengan kaum lain dalam hal penampilan yang menjadi ciri kaum lain selain islam.
Maka lebih utama apabila hal tersebut berkaitan dengan akidah..