Pengantar
Pembahasan mengenai keterpaduan antara norma agama (islam) dengan norma
hokum, akan dibatasi pada Hukum Islam dan Hukum Adat akan ditelaah
sebagai bagian dari inter sub-sistem hukum yang berlaku di Indonesia,
yang dikaitkan dengan proses pengakuan hukum. Oleh karena itu perlu
dijelaskan perihal antara hubungan hukum dengan system kemasyarakatan
secara umum.
Suatu system kemasyarkatan (“societal-system”) mencakup sub-sistem
sub-sistem sebagai unsurnya. sub-sistem sub-sistem itu adalah, sebagai
berikut :
1) Sub-sistem fisik
2) Sub-sistem biologis
3) Sub-sistem politik
4) Sub-sistem ekonomi
5) Sub-sistem social
6) Sub-sistem budaya
7) Sub-sistem kesehatan
8) Sub-sistem pertahanan-keamanan
9) Sub-sistem hukum
Sub-sistem hukum lebih tepat disebut inter sub-sistem hukum oleh
karena dalam batas-batas tertentu mengatur Sub-sistem lainnya atau
bidang-bidang kehidupan lain dalam masyarakat.
Dengan bertitik tolak pada pandangan tersebut, maka hukum pada
hakekatnya juga masayarakat (dan sebaliknya), hukum merupakan masyarakat
dari sudut pandangan tertentu, oleh karena timbul dalam masyarakat dan
mengatur masyrakat untuk mencapai kedamaian. Berdasarkan titik tolak
itu, maka hubungan hukum adat dengan hukum Islam akan ditelaah dengan
mempergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi hukum. Hal ini disebabkan
oleh karena dengan mempergunakan pendekatan itu akan diperoleh suatu
gambaran yang netral. Baik hukum adat maupun hukum Islam akan dilihat
sebagai inter sub-sistem hukum yang sejajar kedudukannya dan sama
peranannya bagi warga masyarakat yang menganutnya, sehingga akan tampak
keterpaduannya.
Berdasarkan asumsi itu, maka akan dapat diidentifikasikan beberapa
masalah yang mungkin terdapat pada proses pertemuan antara hukum adat
dengan hukum Islam, tanpa prasangka. Yang paling penting adalah, apakah
masing-masing bagian inter sub-sistem hukum itu benar-benar memenuhi
rasa keadilan masyarakat dan warga-warganya.
Suatu catatan lain yang perlu dikemukakan sebelum mengawali analisis
hubungan hukum adat dengan hukum Islam adalah, bahwa pembahasan nantinya
juga akan mempergunakan bidang-bidang tata hukum yang dikenal.
Disamping itu akan diterapkan juga beberapa konsep yang berasal dari
ilmu kaidah dan ilmu pengertian yang merupakan dogmatic hukum.
Hukum sebagai lembaga social
Dalam setiap masyarakat senantiasa terdapat kepantingan-kepentingan yang
harus dipenuhi, melalui cara-cara kaidah-kaidah tertentu, agar supaya
tidak terjadi perbenturan kepentingan. Kaidah-kaidah yang mengatur
pemenuhan kepentingan-kepentingan itu, biasanya terhipun dalam satu atau
beberapa lembaga social, sesuai dengan bidang-bidang kehidupan yang
ada. Dengan demikian, maka suatu lembaga social merupakan himpunan
kaidah-kaidah dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kepentingan
pokok dalam masyarakat. Kepentingan tersebut mungkin berada pada bidang
kehiudpan fisik, biologi, politik, ekonomi, social, budaya, kesehatan,
pertahanan, dan hukum.
Lembaga social itu pada dasarnya mempunyai beberapa fungsi tertentu, misalnya :
1) Memberikan pedoman atau pegangan kepada warga-warga masyarakat,
bagaimana mereka seharusnya bertindak dalam memenuhi
kepentingan-kepentingan dalam bidang-bidang kehidupan yang ada.
2) Menjaga keutuhan atau intergitas masyarakat.
3) Memberikan pegangan untuk mengadakan system pengendalian social
(“Social-control”) dan pengelolaan social (“Social-engineering”).
Agar menjadi suatu lembaga social, maka kaidah-kaidah yang mengatur
pemenuhan kepentingan di bidang-bidang kehiudpan tertentu. Proses-proses
tersebut adalah sebagai berikut :
1) Proses pelembagaan (“Institutionaization”), yaitu bahwa suatu
kaidah atau perangkat kaidah-kaidah dikenal, diakui, ditaati, dan
dihargai dalam kehiudpan sehari-hari.
2) Proses pembudayaan (“internalization”), yakni suatu kaidah atau
perangkat kaidah yang sudah melembaga, selanjutnya mendarah-daging
dalam jiwa raga masyarakat.
Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa suatu lembaga social
mempunyai ciri-ciri pokok tertentu. Ciri-ciri pokok itu adalah, sebagai
beikut :
1. Lembaga social merupakan suatu organisasi pola berfikir dan pola
sikap tindak yang terwujud melalui aktivitas warga masyarakat dan
hasil-hasilnya.
2. Suatu tingkat kekekalan tertentu merupakan suatu cirri penting.
3. Adanya satu atau beberapa tujuan.
4. Adanya sarana untuk mencapai tujuan.
5. Terdapat lambang-lambang tertentu.
6. Mempunyai tradisi.
Hukum dari sudut pandang sosiologis mempunyai ciri-ciri tersebut,
sehingga merupakan suatu lembaga social. Sebagai suatu lembaga social
hukum mencakup unsur-unsur, sebagai berikut (6, J, M. Schuyt 1983 ; 12,
dan seterusnya) :
1) Unsur ideal yang menacakup nilai-nilai, azas-azas dan kaidah-kaidah.
2) Unsur operasional yang terdiri dari organsasi-organsasi dan lembaga-lembaga.
3) Unsur actual yang mencakup sikap-tindak dan keputusan-keputusan.
Baik hukum adat maupun hukum Islam, merupakan lemabaga social kalau
dilihat dari sudut pendekatan sosiologi hokum. Salah satu perbedaanya
adalah, benda sumber hukum adat adalah masyarakat. Sedangkan hukum Islam
adalah ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Aka tetapi hal ini tidak dengan
sendirinya berarti adanya pertentangan karena pebedaan sumber itu. Untuk
menjelaskan hal itu, akan disajikan berbagai konsep dalam interaksi
social terutama konsep akomodasi yang merupakan salah satu bentuk
interaksi social asosiatir.
Konsep akomodasi dalam interaksi social
Sebagai lembaga social, maka hukum adat dan hokum Islam akan
berinteraksi, proses mana didukung oleh penganut-penganutnya yang
merupakan manusia pribadi dan kelompok-kelompok social konsep akomodasi
yang merupakan abstraksi pemikiran dan empiri lazimnya dipergunakan
dalam dua arti. Pertama-tama akomodasi dipergunakan untuk menunjuk pada
suatu keadaan terdapatnya keserasian antar pribadi atau kelompok social,
yang berkaitan dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang dianut oleh
pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok social itu dalam masyarakat.
Disamping itu, maka akomodasi dipergunakan dalam pengertian yang
menunjuk pada usaha-usaha manusia pribadi atau kelompok social untuk
meredakan suatu pertentangan, yakni kegiatan untuk mencapai taraf
kestabilan tertentu.
Tujuan utama akomodasi adalah, sebagai berikut (Soerjono Soekanto 1986 : 64) :
1) Mengurangi atau menetralisasi pertentangan yang ada antara
pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok social, sebagai akibat
terjadinya perbedaan faham dalam hal ini akomodasi bertujuan untuk
menghasilkan suatu sintesa, agar terjadi suatu pola yang baru.
2) Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu.
3) Memungkinkan terjadinya kerja samaantara kelompok-kelompok social,
yang sebagai akibat factor-faktor social psikologis dan
antropologis saling terpisah.
4) Mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok social yang terpisah.
Sebagai suatu proses, maka akomodasi mempunyai berbagai bentuk, yaitu (Soerjono Soekanto 1986 : 65. 66) :
1) “Curcion”, yakni bentuk akomodasi dimana salah satu pihak lebih
kuat dari pada pihak lain (lawan). Dalam hal ini keserasian
dipaksakan oleh pihak yang lebih kuat, baik secara fisik maupun
secara psikologis.
2) “Compromise”, yakni bentuk akomodasi dimana para pihak yang
terlibat dalam pertentangan masing-masing mengurangi tuntutannya
agar tercapai penyelesaian. Artinya, salah satu pihak bersedia untuk
merasakan dan memahami keadaan pihak lain, dan sebaliknya.
3) “Artibitration” yang merupakan suatu cara untuk mencapai komporomi
dengan perantaraan pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak
yang bertentangan.
4) “Mediation” yang hapir sama dengan arbitrasi; perbedaannya adalah
bahwa pihak ketiga yang dianggap netral diundang sebagai penasehat
belaka.
5) “Conciliation” yang merupaka usaha untuk mempertemukan
keinginan-keinginan pihak-pihak yang berselisih, agar tercapai
persetujuan bersama.
6) “Toleration” yang merupakan bentuk akomodasi tanpa persetujuan
yang formal kadang-kadang hal itu timbul tanpa direncanakan, oleh
karena masing-masing pihak secara psikologis mempunyai watak untuk
sedapat mungkin menetralisasi perselisihan yang nyata maupun yang
potensial sifatnya.
7) “Stalemate” yang merupakan suatu proses akomodasi, dimana
masing-masing pihak berhenti pada suatu titik, oleh karena mempunyai
kekuatan yang sama.
8) “Adjudication”, yakni penyelesaian sengketa di badan peradilan resmi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar