Minggu, 08 April 2012

KETERPADUAN ANTARA NORMA AGAMA (ISLAM) DENGAN NORMA HUKUM

Pengantar
Pembahasan mengenai keterpaduan antara norma agama (islam) dengan norma hokum, akan dibatasi pada Hukum Islam dan Hukum Adat akan ditelaah sebagai bagian dari inter sub-sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yang dikaitkan dengan proses pengakuan hukum. Oleh karena itu perlu dijelaskan perihal antara hubungan hukum dengan system kemasyarakatan secara umum.
Suatu system kemasyarkatan (“societal-system”) mencakup sub-sistem sub-sistem sebagai unsurnya. sub-sistem sub-sistem itu adalah, sebagai berikut :
1) Sub-sistem fisik
2) Sub-sistem biologis
3) Sub-sistem politik
4) Sub-sistem ekonomi
5) Sub-sistem social
6) Sub-sistem budaya
7) Sub-sistem kesehatan
8) Sub-sistem pertahanan-keamanan
9) Sub-sistem hukum
Sub-sistem hukum lebih tepat disebut inter sub-sistem hukum oleh karena dalam batas-batas tertentu mengatur Sub-sistem lainnya atau bidang-bidang kehidupan lain dalam masyarakat.
Dengan bertitik tolak pada pandangan tersebut, maka hukum pada hakekatnya juga masayarakat (dan sebaliknya), hukum merupakan masyarakat dari sudut pandangan tertentu, oleh karena timbul dalam masyarakat dan mengatur masyrakat untuk mencapai kedamaian. Berdasarkan titik tolak itu, maka hubungan hukum adat dengan hukum Islam akan ditelaah dengan mempergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi hukum. Hal ini disebabkan oleh karena dengan mempergunakan pendekatan itu akan diperoleh suatu gambaran yang netral. Baik hukum adat maupun hukum Islam akan dilihat sebagai inter sub-sistem hukum yang sejajar kedudukannya dan sama peranannya bagi warga masyarakat yang menganutnya, sehingga akan tampak keterpaduannya.
Berdasarkan asumsi itu, maka akan dapat diidentifikasikan beberapa masalah yang mungkin terdapat pada proses pertemuan antara hukum adat dengan hukum Islam, tanpa prasangka. Yang paling penting adalah, apakah masing-masing bagian inter sub-sistem hukum itu benar-benar memenuhi rasa keadilan masyarakat dan warga-warganya.
Suatu catatan lain yang perlu dikemukakan sebelum mengawali analisis hubungan hukum adat dengan hukum Islam adalah, bahwa pembahasan nantinya juga akan mempergunakan bidang-bidang tata hukum yang dikenal. Disamping itu akan diterapkan juga beberapa konsep yang berasal dari ilmu kaidah dan ilmu pengertian yang merupakan dogmatic hukum.
Hukum sebagai lembaga social
Dalam setiap masyarakat senantiasa terdapat kepantingan-kepentingan yang harus dipenuhi, melalui cara-cara kaidah-kaidah tertentu, agar supaya tidak terjadi perbenturan kepentingan. Kaidah-kaidah yang mengatur pemenuhan kepentingan-kepentingan itu, biasanya terhipun dalam satu atau beberapa lembaga social, sesuai dengan bidang-bidang kehidupan yang ada. Dengan demikian, maka suatu lembaga social merupakan himpunan kaidah-kaidah dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kepentingan pokok dalam masyarakat. Kepentingan tersebut mungkin berada pada bidang kehiudpan fisik, biologi, politik, ekonomi, social, budaya, kesehatan, pertahanan, dan hukum.
Lembaga social itu pada dasarnya mempunyai beberapa fungsi tertentu, misalnya :
1) Memberikan pedoman atau pegangan kepada warga-warga masyarakat, bagaimana mereka seharusnya bertindak dalam memenuhi kepentingan-kepentingan dalam bidang-bidang kehidupan yang ada.
2) Menjaga keutuhan atau intergitas masyarakat.
3) Memberikan pegangan untuk mengadakan system pengendalian social (“Social-control”) dan pengelolaan social (“Social-engineering”).
Agar menjadi suatu lembaga social, maka kaidah-kaidah yang mengatur pemenuhan kepentingan di bidang-bidang kehiudpan tertentu. Proses-proses tersebut adalah sebagai berikut :
1) Proses pelembagaan (“Institutionaization”), yaitu bahwa suatu kaidah atau perangkat kaidah-kaidah dikenal, diakui, ditaati, dan dihargai dalam kehiudpan sehari-hari.
2) Proses pembudayaan (“internalization”), yakni suatu kaidah atau perangkat kaidah yang sudah melembaga, selanjutnya mendarah-daging dalam jiwa raga masyarakat.
Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa suatu lembaga social mempunyai ciri-ciri pokok tertentu. Ciri-ciri pokok itu adalah, sebagai beikut :
1. Lembaga social merupakan suatu organisasi pola berfikir dan pola sikap tindak yang terwujud melalui aktivitas warga masyarakat dan hasil-hasilnya.
2. Suatu tingkat kekekalan tertentu merupakan suatu cirri penting.
3. Adanya satu atau beberapa tujuan.
4. Adanya sarana untuk mencapai tujuan.
5. Terdapat lambang-lambang tertentu.
6. Mempunyai tradisi.
Hukum dari sudut pandang sosiologis mempunyai ciri-ciri tersebut, sehingga merupakan suatu lembaga social. Sebagai suatu lembaga social hukum mencakup unsur-unsur, sebagai berikut (6, J, M. Schuyt 1983 ; 12, dan seterusnya) :
1) Unsur ideal yang menacakup nilai-nilai, azas-azas dan kaidah-kaidah.
2) Unsur operasional yang terdiri dari organsasi-organsasi dan lembaga-lembaga.
3) Unsur actual yang mencakup sikap-tindak dan keputusan-keputusan.
Baik hukum adat maupun hukum Islam, merupakan lemabaga social kalau dilihat dari sudut pendekatan sosiologi hokum. Salah satu perbedaanya adalah, benda sumber hukum adat adalah masyarakat. Sedangkan hukum Islam adalah ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Aka tetapi hal ini tidak dengan sendirinya berarti adanya pertentangan karena pebedaan sumber itu. Untuk menjelaskan hal itu, akan disajikan berbagai konsep dalam interaksi social terutama konsep akomodasi yang merupakan salah satu bentuk interaksi social asosiatir.
Konsep akomodasi dalam interaksi social
Sebagai lembaga social, maka hukum adat dan hokum Islam akan berinteraksi, proses mana didukung oleh penganut-penganutnya yang merupakan manusia pribadi dan kelompok-kelompok social konsep akomodasi yang merupakan abstraksi pemikiran dan empiri lazimnya dipergunakan dalam dua arti. Pertama-tama akomodasi dipergunakan untuk menunjuk pada suatu keadaan terdapatnya keserasian antar pribadi atau kelompok social, yang berkaitan dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang dianut oleh pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok social itu dalam masyarakat. Disamping itu, maka akomodasi dipergunakan dalam pengertian yang menunjuk pada usaha-usaha manusia pribadi atau kelompok social untuk meredakan suatu pertentangan, yakni kegiatan untuk mencapai taraf kestabilan tertentu.
Tujuan utama akomodasi adalah, sebagai berikut (Soerjono Soekanto 1986 : 64) :
1) Mengurangi atau menetralisasi pertentangan yang ada antara pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok social, sebagai akibat terjadinya perbedaan faham dalam hal ini akomodasi bertujuan untuk menghasilkan suatu sintesa, agar terjadi suatu pola yang baru.
2) Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu.
3) Memungkinkan terjadinya kerja samaantara kelompok-kelompok social, yang sebagai akibat factor-faktor social psikologis dan antropologis saling terpisah.
4) Mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok social yang terpisah.
Sebagai suatu proses, maka akomodasi mempunyai berbagai bentuk, yaitu (Soerjono Soekanto 1986 : 65. 66) :
1) “Curcion”, yakni bentuk akomodasi dimana salah satu pihak lebih kuat dari pada pihak lain (lawan). Dalam hal ini keserasian dipaksakan oleh pihak yang lebih kuat, baik secara fisik maupun secara psikologis.
2) “Compromise”, yakni bentuk akomodasi dimana para pihak yang terlibat dalam pertentangan masing-masing mengurangi tuntutannya agar tercapai penyelesaian. Artinya, salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan memahami keadaan pihak lain, dan sebaliknya.
3) “Artibitration” yang merupakan suatu cara untuk mencapai komporomi dengan perantaraan pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak yang bertentangan.
4) “Mediation” yang hapir sama dengan arbitrasi; perbedaannya adalah bahwa pihak ketiga yang dianggap netral diundang sebagai penasehat belaka.
5) “Conciliation” yang merupaka usaha untuk mempertemukan keinginan-keinginan pihak-pihak yang berselisih, agar tercapai persetujuan bersama.
6) “Toleration” yang merupakan bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal kadang-kadang hal itu timbul tanpa direncanakan, oleh karena masing-masing pihak secara psikologis mempunyai watak untuk sedapat mungkin menetralisasi perselisihan yang nyata maupun yang potensial sifatnya.
7) “Stalemate” yang merupakan suatu proses akomodasi, dimana masing-masing pihak berhenti pada suatu titik, oleh karena mempunyai kekuatan yang sama.
8) “Adjudication”, yakni penyelesaian sengketa di badan peradilan resmi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar