A. Alqur’an
Alqur’an
adalah sumber ajaran Islam yang pertama, memuat kumpulan wahyu-wahyu
Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. Di antara kandungan
isinya ialah peraturan-peraturan hidup untuk mengatur kehidupan manusia
dalam hubungannya dengan Allah, hubunannya dengan perkembangan dirinya,
hubungannya dengan sesama manusia, dan hubungannya dengan alam beserta
makhluk lainnya. Alqur’an kitab suci yang berisi wahyu Ilahi menjadi
pedoman hidup yang tidak ada keragu-raguan di dalamnya. Selain itu,
Al’quran menjadi petunjuk yang dapat menciptakan manusia untuk menjadi
bertaqwa kepada Allah Swt. Karena itu, Al’quran banyak mengemukakan
prinsip-prinsip umum yang mengatur kehidupan manusia dalam beribadah
kepada Allah swt. Meskipun kegiatan muamalah terjadi secara interaktif
antara sesama makhluk, termasuk alam semesta; namun hendaknya
diperhatikan oleh manusia bahwa semua kegiatan itu berada dalam kegiatan
beribadah kepada Allah swt. Dengan demikian, semua perbuatan manusia
adalah ibadah kepada Allah sehingga tidak boleh bertentangan dengan
hukum Allah swt, dan ditujukan untuk mencapai keridhaan-Nya.
Al’quran
sebagai kitab suci yang berisi petunjuk memuat 6.236 ayat. Jumlah itu
hanya 5,8 persen dari seluruh ayat Al’quran yang mempunyai perincian.
Hal itu diungkapkan karakteristik ayat-ayat sebagai berikut.
1) Ibadat shalat, puasa, haji, zakat, dan lain-lain 140 ayat.
2) Hidup kekeluargaan, perkawinan, perceraian, hak waris, dan sebagainya 70 ayat.
3) Perdagangan/perekonomian, jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, gadai, perseroan, kontrak, dan sebagainya 70 ayat.
4) Persoalan kriminologi 30 ayat.
5) Hubungan Islam dengan non Islam 25 ayat.
6) Persoalan kehakiman/pengadilan 13 ayat.
7) Hubungan si kaya dan si miskin 10 ayat.
8) Persoalan kenegaraan 10 ayat.
Jumlah
ayat-ayat Alqur’an yang mempunyai perincian secara keseluruhan adalah
368 ayat. Dari jumlah 368 ayat tersebut, hanya 228 ayat yang merupakan
urusan soal hidup kemasyarakatan umat (Harun Nasution, 1978: 9).
Dari
perincian di atas menunjukan bahwa ayat-ayat yang mengatur soal hidup
kekeluargaan dan kehidupan mempunyai jumlah besar. Angka mengenai hidup
kekeluargaan ini besar karena keluargalah yang merupakan unit
kemasyarakatan terkecil dalam tiap-tiap masyarakat. Dari
keluarga-keluarga yang baik, makmur dan bahagia tercipta masyarakat yang
baik, makmur dan bahagia. Keluarga-keluarga yang tidak kuat ikatannya,
tidak akan dapat membentuk masyarakat yang baik. Karena itu, keteguhan
ikatan kekeluargaan perlu dipelihara dan disinilah terletak salah satu
sebabnya maka ayat-ayat ahkam mementingkan soal hidup kekeluargaan.
Dalam hubungan ini perlu diketahui bahwa tujuan ibadat dalam Islam ialah
membentuk individu-individu baik dan berbudi pekerti luhur. Dan dari
individu-individu yang tidak mempunyai budi pekerti luhur tidak akan
dapat terwujud keluarga yang baik.
Selain
itu, perlu diungkapkan bahwa ayat-ayat ahkam mengenai hidup
kemasyarakatan itu, selain kecil jumlah keseluruhannya, bersifat umum,
dalam pengertian hanya memberikan garis-garis besarnya tanpa perincian.
Ini berlainan halnya dengan ayat-ayat ahkam mengenai ibadat. Wahyu dalam
hal ini lebih tegas dan terperinci. Masyarakat bersifat dinamis
mengalami perubahan dari zaman ke zaman, dan kalau diatur dengan
hukum-hukum yang berjumlah besar lagi terperinci akan menjadi terikatdan
tak dapat berkembang sesuai dengan peredaran zaman. Di sini pula
terletak hikmahnya maka ayat-ayat ahkam mengenai kemasyarakatan
berjumlah kecil dan hanya membawa pedoman-pedoman dasar tanpa perincian.
Karena itu, hanya dasar-dasar inilah yang perlu dan wajib dipegang
dalam mengatur hidup kemasyarakatan umat di segala tempat dan zaman.
Dengan kata lain dasar-dasar itulah yang tak dapat diubah oleh manusia,
sedang interpretasi, perincian dan pelaksanaannya, itu berubah menurut
tuntutan zaman. Di sekitar interpretasi dasar-dasar inilah hukum dalam
Islam berkembang.
B. Sunnah
1. Pengertian Sunnah
Sunnah dalam bahasa Arab berarti tradisi, kebiasaan,
adat-istiadat. Dalam terminologi Islam sunnah berarti perbuatan,
perkataan, dan keizinan Nabi Muhammad saw. Pengertian sunnah tersebut
sama dengan pengertian al-hadits. Al-hadits dalam bahasa Arab berarti
berita atau kabar. Namun demikian, ada yang membedakan pengertian sunnah
dengan hadits. Sunnah adalah perbuatan, perkataan, dan perizinan Nabi
Muhammad saw yang asli, sedang hadis adalah catatan tentang perbuatan,
perbuatan, dan perizinan Nabi Muhammad saw yang sampai pada saat ini.
Karena itu, keduanya menjadi sumber hukum dan sumber pedoman hidup.
Sebab, ada hadis yang maqbul (diterima) dan hadis yang mardud (tidak
dapat diterima). Namun demikian hendaknya diakui bahwa terminologi ilmu
dalam Islam antara hadis dan sunnah sudah dianggap identik.
2. Macam-Macam Sunnah
Sunnah atau hadis dapat dibagi ke dalam beberapa macam :
a)Ditinjau dari segi bentuknya terbagi kepada :
1. Fi’li, yaitu perbuatan Nabi.
2. Qauli, yaitu perkataan Nabi
3. Taqriri, yaitu perizinan Nabi, yang artinya perilaku sahabat yang disaksikan oleh Nabi tetapi Nabi tidak menegurnya/melarangnya.
b) Ditinjau dari segi jumlah orang yang menyampaikannya terbagi atas :
1. Mutawatir,
yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut akal tidak
mungkin mereka bersepakat dusta serta melalui jalan indera.
2. Masyhur, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak tetapi tidak sampai kepada derajat mutawatir, baik karena jumlahnya maupun karena tidak jalan indera.
3. Ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih yang tidak sampai pada tingkat masyhur dan mutawatir.
c)Ditinjau dari segi kualitas hadis, terbagi atas :
1. Shahih,
yaitu hadis yang sehat, yang diriwayatkan oleh orang-orang yang
terpercaya dan kuat hafalannya, materinya baik dan persambungan sanadnya
dapat dipertanggung jawabkan.
2. Hasan, yaitu hadis yang memenuhi persyaratan hadis shahih kecuali di segi hafalan pembawanya yang kurang baik.
3. Dha’if, yaitu hadis lemah, baik karena terputus salah satu sanadnya atau karena salah seorang pembawanya kurang baik.
4. Maudhu, yaitu hadis palsu, hadis yang dibikin oleh seseorang dan dikatakan sebagai sabda atau perbuatan Rasul.
d) Ditinjau dari segi diteima atau tidaknya terbagi atas :
1. Maqbul, yaitu hadis yang diterima.
2. Mardud, yaitu hadis yang mesti ditolak.
e)Ditinjau dari segi orang yang berbuat atau berkata terbagi atas :
1. Marfu’, yaitu betul-betul Nabi yang pernah bersabda, berbuat, dan memberi izin.
2. Mauquf, yaitu sahabat Nabi yang berbuat dan Nabi tidak menyaksikan perbuatan sahabat.
3. Maqtu’, yaitu tabi’in yang berbuat. Artinya perkataan tabi’in yang berhubungan soal-soal keagamaan.
f) Pembagian lain yang disesuaikan jenis, sifat, redaksi, teknis penyampaian dan lain-lain, seperti :
Hadis yang banyak menggunakan kata an (dari) menjadi hadis
mu’an’an. Hadis yang banyak menggunakan kata anna (sesungguhnya) menjadi
hadis muanna. Hadis yang menyangkut perintah disebut hadis awamir. Hadis yang menyangkut larangan disebut hadis nawahi. Hadis yang sanad (sandarannya) terputus disebut hadis munqathi’.
C. Ra’yu
Ra’yu adalah penggunaan akal (penalaran) manusia dalam
menginterpretasi ayat-ayat Alqur’an dan sunnah yang bersifat umum karena
memerlukan penalaran manusia. Ra’yu adalah bahasa Arab. Akar katanya
adalah ra’a yang berarti melihat. Karena itu, ra’yu berarti penglihatan.
Namun demikian yang dimaksud penglihatan di sini adalah penglihatan
akal, bukan penglihatan mata, meskipun penglihatan mata seringkali
sebagai alat bantu terbentuknya penlihatan akal, sebagaimana halnya
pendengaran, perabaan, perasaan, dan lain sebagainya.
Ra’yu terbentuk sebagai hasil suatu proses yang terjadi pada
otak manusia setelah terlebih dahulu memperoleh masukan.
Masukan-masukan dimaksud dapat terjadi pada saat sebelum dan sesudah
terjadi proses pemikiran dimaksud. Karena itu sering terjadi bahwa hasil
proses pemikiran ini sangat tergantung kepada jumlah masukan yang
dimiliki oleh seseorang, makin kaya masukan tersebut makin kaya dalam
proses pemikirannya. Proses pemikiran ini amat tergantung kepada masukan
atau proses asosiasi, menganalisis dan membuat sintesa yang akan
melahirakan suatu kesimpulan. Proses itu disebut ijtihad. Hasil dari proses ijtihad yang disebut sumber hukum Islam yang ketiga.
Ijtihad
pada saat ini lebih penting bila dibandingkan di masa Nabi Muhammad
saw, meskipun pada masa pada masa itu ijtihad sudah dilakukan oleh Mu’az
bin Jabal, yaitu ketika diangkat menjadi gubernur di Yaman. Setelah
Nabi Muhammad wafat, ijtihad makin berkembang, bahkan Abubakar sendiri
mengingatkan kaumnya agar dikritik bila melakukan ijtihad yang salah,
yang diucapkan pada pidato pertama ketika diangkat menjadi khalifah.
Bila
mengamati fenomena masalah keagamaan saat ini, maka kita temukan bahwa
banyak permasalahan yang belum diatur oleh Alqur’an dan hadis. Karena
banyaknya permasalahan dimaksud sehingga ayat-ayat Alqur’an sering kita
temukan memerintahkan kepada manusia untuk menggunakan akal pikirannya.
Bukan hanya demikian, tetapi merupakan proses alamiah bahwa manusia akan
berpikir dan menggunakan pikirannya semaksimal mungkin.
Selain
ijtihad tersebut, qiyas (analogi) merupakan salah satu teeknik
berpikir. Karena itu bila seseorang membenarkan adanya ijtihad maka
benar pula adanya qiyas. Meskipun kebenaran yang dimaksud, mempunyai
syarat orang yang berhak berijtihad dalam masalah keagamaan. Ijtihad
baru bisa dilakukan bila tidak ada ayat Alqur’an dan hadis yang jelas
mengenai sesuatu masalah sosial kemasyarakatan atau masalah-masalah
lainnya. Hal-hal yang demikian itulah menjadi fokus kajian ijtihad ,
sehingga biasa disebut sumber dinamika ajaran Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar